Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kanon Sejarah dan Historiografi Warisan Kolonial

7 September 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I

Jika kita percaya pada anggapan bahwa sejarah memiliki fungsi untuk memperkokoh identitas nasional maupun kolektif, maka kita tidak akan terkejut bila penulisan sejarah dan klaim akan kebenaran masa lalu menjadi demikian penting dan menimbulkan banyak perdebatan. Salah satu sebab perselisihan ialah soal bagaimana masa lalu ditampilkan dan fakta diciptakan (Nordholt, Bambang, dan Ratna (ed.), 2008:1). Di samping itu, tentu saja, perdebatan sering terjadi karena munculnya narasi yang berbeda, atau bahkan bertentangan, dari yang sudah ada.

Beberapa dekade lalu, banyak politisi dan kaum terpelajar di berbagai belahan dunia yang menyalahkan tren baru dalam penelitian dan pengajaran sejarah karena dianggap memperlemah identitas nasional. Tren sejarah “baru” dipermasalahkan sebab selain diduga telah mendekonstruksi kanon, ia juga menyediakan tempat bagi munculnya banyak versi narasi sejarah yang disangka dapat merusak ingatan kolektif dan menyulut perpecahan komunitas. Sedangkan sejarah “lama” (baca: kanon sejarah), bagi pendukungnya, dapat meneguhkan identitas nasional dan memperdalam ingatan kolektif.

Yang dimaksud dengan kanon di sini, mengikuti Grever dan Stuurman (2007: 3-5), adalah sebuah narasi besar sejarah yang terdiri atas tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa, jalan cerita-jalan cerita, ide-ide dan nilai-nilai, alur-alur tertentu, perspektif-perspektif dan penjelasan-penjelasan (explanations)—pilihan negara—yang telah diimani oleh banyak orang. Dalam konteks sejarah nasional modern, kanon sejarah adalah apa yang disebut sejarah-sejarah textbook, perayaan atau peringatan (hari) bersejarah, dan ingatan kolektif dominan yang dimiliki awam. Kanon sering kali mengistimewakan peristiwa politik yang penting dan personalitas yang besar—tentu saja mana yang dianggap penting dan besar sering kali disesuaikan dengan selera pemerintah. Karena merepresentasikan narasi besar, kanon mudah berpaling kepada pendekatan satu dimensi, dan menyisakan sedikit ruang bagi kompetisi dan perbedaan perspektif. Buku-buku teks sejarah di sekolah-sekolah sangat jarang mengatakan kepada pembacanya bahwa cerita yang ada di buku-buku itu hanya merepresentasikan sudut pandang dari salah satu atau sebagian sejarawan. Bukan itu saja, karena kanon juga mengutamakan peristiwa dan tokoh besar, ia cenderung menyingkirkan sejarah tentang kehidupan sehari-hari, budaya populer, peran perempuan, dan sejarah lisan.

Di Amerika, perdebatan pada the National History Standard benar-benar berubah ke dalam perang budaya, yang melibatkan media massa dan politisi. Sedangkan di sebagian besar negara-negara Eropa, diskusi-diskusi mengenai hal ini memang kurang sengit, tetapi pertentangan pendapat mengenai sejarah macam apa yang perlu, atau yang tidak perlu, diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas tidak kalah sengit (Grever dan Stuurman, 2007: 1).

Seperti yang pernah kita saksikan, perdebatan yang sangat “panas” mengenai hal serupa juga muncul di Indonesia pasca-kemakzulan orde baru. Perdebatan terutama berpautan dengan upaya mendobrak kanon sejarah orde baru tentang peristiwa ‘65. Jika kanon yang tertera di dalam kurikulum mata pelajaran sejarah masa orde baru berpendirian bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di balik Gerakan 30 September 1965, sebab itu disebut “G30S/PKI”, kurikulum 2004 menghilangkan “/PKI” dan hanya menyebut gerakan tersebut dengan “G-30-S” an sich. Penghilangan kata “/PKI” dari “G-30-S” itu menyulut emosi kelompok-kelompok yang telah meyakini bahwa PKI, “bahaya laten” itu, merupakan dalang Gerakan 30 September 1965. Sedangkan sebagian kelompok pro-penghilangan kata “/PKI”, menganggap bahwa CIA, angkatan darat, dan/atau orde baru-lah yang menjadi dalangnya, sedangkan PKI justru menjadi korban. Akibatnya, aksi saling tuduh dan perbantahan yang penuh emosi berlangsung di mana-mana.

Perdebatan yang emosional mengenai peristiwa ’65 itu menyisakan dua hal—dari kedua belah pihak yang bertikai—yang penting untuk dikritisi. Pertama, pihak yang pro-kanon sejarah orde baru—dan yang menjadi pemenang formal, sebab kurikulum 2004 itu kemudian dibatalkan—yang menunjukkan kecongkakannya dengan penggunaan kekerasan terhadap wacana-wacana alternatif yang berbeda dengan kanon mereka. Mereka melarang, menyita, dan membakar belasan ribu historiografi-historiografi yang memiliki perspektif berbeda (Kompas, 22 dan 28 Mei 2007, 30 April 2007). Bahkan ada seorang profesor sejarah dari kelompok ini yang menuntut permintaan maaf seorang pemimpin media massa yang menulis suatu artikel yang dianggapnya membela PKI. Hal ini menyuratkan bahwa pihak pro-kanon ini, seperti umumnya pembela kanonisasi sejarah, enggan menerima kenyataan bahwa konstruksi maupun pemaknaan masa lalu berangkat dari subjektivitas, dan oleh karena itu tidak ada kebenaran mutlak dalam setiap penjelasan dan narasi historiografis.

Kedua, meskipun telah berikhtiar menyajikan wacana alternatif terhadap kanon sejarah orde baru, pihak anti-kanon—karena berangkat dari keinginan untuk mengadvokasi korban kekerasan orde baru dan lebih memilih rekayasa manipulatif dari pada membangun metodologi baru—terjebak dalam prinsip framing against the enemies­. Mereka, sama seperti pihak yang pro-kanon, tidak mau menerima sumber dan narasi historis yang beragam karena dianggap dapat mengacaukan kerangka ideologis mereka. Jika historiografi yang lama hanya menempatkan PKI sebagai kelompok yang harus bertanggung jawab, maka historiografi yang baru akan sangat mudah terjerumus pada konstruksi dan pemaknaan yang hanya memindahkan kesalahan kepada orde baru, angkatan darat, atau CIA, serta menghapuskan realitas yang menunjukkan keterkaitan PKI dalam peristiwa-sebagai-proses. Singkatnya, historiografi yang dihasilkan oleh kelompok ini mulai membangun wacana yang dogmatik sehingga tidak bisa lagi dilihat perbedaannya dengan secara konseptual dengan historiografi yang di kritik sebelumnya (Bambang, 2006: 225-226). Perbedaan antara kanon dan yang anti hanya terletak pada siapa yang berperan menjadi korban dan siapa penjahat.

II

Kalau kita mengamati sejarah Indonesia, perubahan bipolar (pahlawan-pecundang, penjajah-terjajah, beradab-primitif, korban-penjahat, dan seterusnya) dalam historiografi itu biasa terjadi ketika terjadi pergantian kekuasaan. Tujuan utama dari historiografi yang bipolar ini barangkali adalah sebagai upaya pembenaran diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Dengan kata lain, sebagai muslihat untuk menghegemoni dan mendominasi, di samping untuk menandingi hegemoni dan dominasi. Oleh sebab itu, penulisan sejarah model ini sering menciptakan anakronisme.

Bila kita runut ke belakang, kemunculan historiografi bipolar yang bertujuan untuk mendominasi ini berawal dari zaman kolonial dan merupakan warisan kolonial—saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa serat, babad, dan naskah-naskah serupa yang telah ada sebelum kolonial tidak ada yang bertujuan untuk menghegemoni, tetapi “historiografi” seperti yang kita ketahui sekarang adalah produk Barat dan baru ada di wilayah yang sekarang kita sebut Indonesia ini pada zaman kolonial. Pada masa kolonial Belanda, historiografi yang ada berpusat pada dan pemeran utamanya adalah Belanda. Belanda memulai petualangannya di seberang lautan pada abad ke-17 dengan mendirikan Batavia—nama suku nenek moyang orang Belanda—dan berakhir pada awal abad ke-20 dengan terbentuknya sebuah negara kolonial yang kuat, yang diberi nama khayal “Tropical Holland” —Belanda Tropis—( Nordholt, Bambang, dan Ratna (ed.), 2008: 6). Historiografi kolonial selalu menekankan bahwa Belanda adalah juru selamat, pengemban misi pencerahan, dan pemberadab bagi orang-orang pribumi primitif dan bar-bar. Setiap orang yang menentang Belanda berarti pemberontak yang bar-bar, anti rust en orde, tidak tahu terimakasih dan yang sejenisnya. Sedangkan eksploitasi dan kekejaman Belanda tidak pernah ditampilkan.

Ketika Indonesia merdeka, pusat dan pemeran utama dalam historiografi yang tadinya ditempati Belanda oleh sejarawan Indonesia posisinya dibalik, dengan mengikuti pola-pola yang dibuat oleh sejarawan kolonial. Jika sebelumnya Belanda merupakan pemberadab, sekarang ditempatkan sebagai orang-orang biadab yang merampok, menjajah, dan mengeksploitasi Indonesia. Setiap penentang Belanda—baik untuk kepentingannya sendiri maupun orang banyak, demi hajat lokal atau nasional—dianggap sebagai pahlawan.

Setelah orde lama turun dan digantikan orde baru, pemeran utama dalam historiografi nasional menjadi bergeser lagi. Orde lama dianggap gagal mempertahankan bangsa dan negara, sedangkan Soeharto dan orde baru adalah juru selamatnya. Tradisi ini historiografi ini kemudian diteruskan hingga sekarang, setelah Orde Baru lengser. Orde baru hanya dilihat sebagai pecundang, musuh-musuh orde baru adalah korban, dan pahlawan-pahlawan baru diciptakan.

III

Mengapa penulisan sejarah nasional hingga kini cenderung merupakan format yang sama dalam versi yang berbeda dengan penulisan sejarah kolonial? Dengan kata lain, mengapa historiografi nasional hanya meneruskan atau mewarisi historiografi kolonial? Hal itu disebabkan, jika boleh menggunakan terminologi postkolonial disini, wilayah yang sekarang kita sebut Indonesia ini adalah sebuah colonial encounter; yaitu sebuah ruang di mana orang-orang—penjajah dan terjajah—yang secara geografis dan historis terpisah menjadi bertemu satu sama lain dan membangun relasi terus-menerus, kadang-kadang menyertakan kekerasan, ketidaksetaraan ras dan konflik (Bush, 2006: 117). Belanda sebagai pemenang—meski tidak dalam arti yang sepenuhnya—dalam colonial encounter jelas lebih leluasa untuk mendominasi dan menghegemoni bumiputra. Kemenangan Belanda sebagai penjajah akan mengakibatkan internalisasi dan penerimaan superioritas Eropa/Belanda dalam diri terjajah (Bush, 2006: 121). Dengan demikian untuk melawan dan menciptakan hegemoni dan dominasi baru, si terjajah cenderung meniru dan menggunakan cara-cara yang sama dengan penjajah, dan bukannya mencari cara-cara melawan, mendominasi, dan menghegemoni dari budayanya yang telah terkalahkan.

Sejak kolonialisasi Belanda, historiografi “lama”, seperti babad, hikayat, tambo, dan yang sejenisnya, dianggap sebagai produk “kuno” yang merepresentasikan percampuran unsur-unsur historis dan mitologis. Sedangkan historiografi yang dibawa penjajah adalah historiografi (Barat) modern yang merupakan hasil dari kesadaran intelektual yang “ilmiah” dan bebas mitos. Padahal historiografi modern itu, bahkan hingga saat ini, juga menciptakan mitos-mitos dengan memakai perspektif sejarah dalam rangka menumbuhkan loyalitas ideologis dan legitimasi, seperti yang terlihat dalam sejarah nasional Indonesia (Bambang, 2006: 66-67 dan 95-96). Sebagai sumber, babad dan kawan-kawan harus dikritisi dengan ketat, sedangkan laporan-laporan VOC dan Geschiedenis van de Nederlansch-Indie tidak.

Yang menjadi permasalahan di sini bukanlah soal persamaan dan perbedaan antara historiografi tradisional dan modern, melainkan, terutama, kurangnya sikap kritis dalam mewarisi historiografi kolonial yang anakronistis. Banyak sejarawan pasca-kolonial yang cenderung menerima bipolaritas yang menjadi tradisi dalam historiografi kolonial dan enggan melihat kompleksitas suatu peristiwa atau pelaku sejarah; menerima klaim-klaim sejarawan Barat masa kolonial bahwa no written document no history, meskipun mengakibatkan tidakadanya historiografi masyarakat yang tak memiliki tradisi menulis masa lalu mereka; mewarisi tradisi menulis (kanon) sejarah tentang peristiwa politik dan orang-orang besar saja dan mengesampingkan sejarah orang kecil dan sejarah kehidupan sehari-hari; mewarisi tradisi historiografi yang ideologis; yang menyudutkan historiografi tradisional; menolak relativitas kebenaran sejarah dan variasi historiografi; dan lain sebagainya.

IV

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan keyakinan para poskolonialis, bahwa hanya dengan menerima kenyataan bahwa masa lalu kita adalah terjajah, kita bisa melihat masa lalu kita (terutama sejak kehadiran penjajah) dengan lebih arif. Jika tidak, kita akan terus menerus terjebak dalam dilema atau situasi paradoksal dalam bahasa Chakrabarty (Ascroft & Tiffin (ed.), 1995: 429), yang, pada satu sisi, mengutuk habis-habisan negara penjajah dan orang-orangnya tetapi, di sisi lain, kita di hadapkan pada kenyataan bahwa lahirnya negara kita adalah juga akibat dari kolonialisme dan bahwa kita mewarisi historiografi dan banyak hal yang baik maupun yang buruk dari kolonialisme. Bahkan, ketika kita ingin menulis sejarah tentang masyarakat kita dengan memegang prinsip yang Indonesiasentris, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa penyedia data (baca: pengetahuan)—seperti arsip, laporan-laporan perjalanan, hasil riset seorang ilmuwan, dan seterusnya—tentang diri kita adalah orang-orang Eropa, khususnya Belanda.

Namun perlu ditekankan, bahwa menerima kenyataan bahwa kita berada dalam posisi subaltern hanyalah sebuah awal. Setelah itu, masih banyak lagi hal-hal yang harus dilakukan. Dalam kaitannya dengan historiografi, hal itu berarti bahwa penulis sejarah seharusnya tidak mewarisi begitu saja tradisi kolonial, melainkan harus terus bersikap kritis, mendekonstruksi perspektif lama dan merekonstruksi perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, serta mempercanggih metodologi sejarah untuk mengembangkan kualitas historiografi pasca-kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun