Sore ini, rona mentari tampak redup merayap bersama datangnya senja di langit dalam gumpalan mega yang seakan hendak hujan, dan tertahan. Angin sekedar lewat tanpa membawa kabar kepastian tentang cuaca. Sore ini di sebuah halaman rumah tua yang lembab tampak orang tua bernama Nyai Sila duduk mengayunkan kedua kakinya di bangku taman yang tidak lagi terawat selain wajah taman belukar dengan rambatan.
“Apakah kau tahu Garnelaku sayang, aku adalah mahluk tersunyi yang telah terkutuk oleh perilakuku sendiri. Siapa yang dapat membantuku? Tidak ada...”, ucap Nyai Sila pada sebuah tanaman yang berdiri tepat di depannya. Sebuah tanaman spora yang sesekali bergumul dalam bulir jamur dan lumut dengan wewangian khas amisnya, Garnela meliukkan tangkai rapuhnya sebagai sebuah jawaban pada Nyai Sila.
Sekali saja, hanya sesaat, angin kini berhempus dengan sangat pelan dan hati-hati. Angin sepertinya mengerti, ada bahasa yang begitu kuat terjadi sore menuju rembang antara Nyai Sila dengan Garnela si spora amis. Satu per satu angin membelai ranting-ranting yang mengikat mengulir di setiap sudut yang ada di halaman dan rumah Nyai Sila. Begitu halus belaian angin pada tumbuhan dan benda-benda yang dibelainya hingga tiba di sebuah sumur berwarna bata, tanpa tali penimba maupun alat timbanya. Sebuah sumur yang menjadi saksi hidup seorang Nyai Sila semasa muda.
Seorang Nyai Sila di masa lampau tidak lain adalah seorang ibu dengan tiga orang anak, anak-anak yang kini menjadi sebuah sejarah terbingkai pada nisan. Tiga buah nisan, tiga wujud sahabat mimpi malam menuju dunia gemintang. Dimana kala itu Nyai Sila masih bertubuh kuat dalam balutan anggun yang kejam. Bahkan tiada satu orang pun yang berani mengucapkan sebuah kalimat yang bermakna kesalahan maupun kekecewaan terhadap dirinya selain pujian-pujian palsu dengan rayuan manis keterpaksaan.
***
Masih di waktu yang sama, sore menuju malam namun langit mulai memudar keabuan, Nyai Sila masih setia duduk dan termenung menatap pada pemandangan yang jauh tentang satu pertanyaan. “Apa yang telah aku lakukan pada hidupku Garnela?”, ucapnya spontan, hembusan angin dari arah sumur kelam seketika menjemput bunyi lirih yang keluar dari kelopak bibir renta dengan guratan garis skizopreniknya. Kali ini, Garnela tidak membalas kalimatnya yang telah mulai membuat dirinya dipenuhi oleh lemut berlendir dengan luka-luka menganga dan akan terus menganga tanpa pernah tahu kapan dirinya akan terobati. “Aku sangat menghargai hidupku, hanya saja.., hidup tidak menempatkanku sebagai seorang manusia di masa itu. Aku mencintai ketiga anakku seperti aku mencintai baju putihku yang dipenuhi renda berwarna krem dengan garis-garis berwarna jingga. Aku tahu, aku melakukan kesalahan...”, lanjutnya pada senja.
Pada akhirnya, pergantian waktu di rumah lembab beraroma amis itu, percakapan demi percakapan antara diri mengulang tanpa ada kejelasan kapan akan berakhir. Masih tetap di posisi duduk yang tidak berubah satu sentimeter pun, kaki Nyai Sila mendadak terdiam lalu terjuntai dengan lembutnya, seperti sebuah selendang yang terjatuh dari sangkutannya. Sayup-sayup adzan magrib menyelimuti suasana senja itu. Nyai Sila perlahan menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya dalam nafas yang sangat dalam dan panjang. Pasrah dan menjadi sabar telah diucapkan dalam bahasa tubuhnya yang kian berbentuk semrawut seperti sebuah lukisan anamorf tanpa garis dan lengkung. Ada isak tangis yang tak lagi terucap dalam air mata selain jemari-jemari yang masih terlihat lentik sesekali berdetak, berdenyut.
Perlahan, dan sangat perlahannya, muncullah kutipan-kutipan masa lalu. Saat dirinya masih kanak-kanak. Keceriaannya bersama keluarganya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kehidupan remajanya yang dipenuhi oleh berbagai kegiatan positif dan penghargaan. Hingga masa pernikahannya dengan suami yang telah membuatnya tega membunuh ketiga anaknya yang dilahirkannya dengan kasih sayang. Sebuah pengabdiannya pada suaminya yang telah meninggalkannya menjadi wanita pemberang dan bertangan dingin. Suami yang juga telah meninggalkannya dalam keterpurukan jiwa hanya untuk kenikmatan nafsu akan ranumnya wajah muda dari kawannya Nyai Sila sendiri.
Ya, ketiga anaknya telah meninggalkannya atas sikap Nyai Sila yang tidak lagi mampu melihat sebuah realita dan kebenaran di depan matanya selain kebenaran pikiran suaminya. Hingga akhirnya ketiga anaknya memilih pergi dari rumah dan tak pernah kembali. Dua puluh tahun sudah ketiganya tiada memberi kabar dan saat itulah Nyai Sila membuatkan tiga buah nisan yang terletak tepat di sisi kiri sumur yang kini mati. Mati seperti jiwanya yang takkan pernah mampu melihat indahnya matahari timur atau misteri gerhana maupun purnama. Jiwa yang tidak lagi berharga dan membuatnya semakin beku seperti musim dingin yang menahun dan menjadi penghantar dirinya menuju kematiannya. Sebuah kejadian di masa lalu tentang satu kesalahan membaca. Membaca tentang anak-anak yang sangat membutuhkannya namun terabaikan atas nama pengabdian pada suaminya. Kini, di masa tua, Nyai Sila pun merasakan apa arti terabaikan dan sendiri seperti perasaan ketiga anaknya yang telah mengalaminya di masa tumbuh kembang mereka, dan yang tersisa hanya tiga buah nisan dengan nama lengkap dan tanggal kelahiran tanpa tercantum waktu kematian.
***
Langit pun mulai menampakkan birunya yang damai dengan kerlipan bintang-bintang yang mencoba menghibur hati yang kian dingin sunyi. Belukar dan rambatan di sekelilingnya tidak lagi terlihat pasti selain rimba kecil yang mengelilingi rumah yang penuh dengan retakan sejarah. Dalam kesendiriannya kini, seluruh masa menjadi satu rangkuman kisah anak manusia yang menangis sesak dalam penyesalan panjang. Sendirian, tanpa kawan dan sahabat. Hanya diri yang sepi dan tubuhnya.
Tiba-tiba saja, seekor tokek yang masih setia bermukin dalam para rumahnya, berbunyi di tempo lima per lima. Bunyi-bunyian meditatif menghantarkan bulan yang sedang merayapi langitan dengan gemulainya lengkungan. Suasana kenaikan malam pun terasa begitu kelam dan pekat. Ada warna hitam yang terbalut awan tebal tanpa rencana hujan dengan kedipan bintang serta senyum sinis rembulan pada daratan yang memanas, mendidih, sekaligus melelehkan Nyai Sila di hari akhirnya.
Perlahan tubuh bungkuknya berdiri dengan intensitas nafas yang sangat lambat. Tangan kanannya membantu menopang tubuh lelah itu berdiri. Pada tatapan bola mata yang tajam dan pasti, Nyai Sila mengarahkan kedua kakinya menuju sumur kesayangannya melalui dalam rumah. Satu per satu benda-benda yang menghiasi isi rumahnya disentuh dan ciuminya seakan hendak berpamit seperti sebuah ucapan terima kasih yang tak terhingga telah menjadi sehabat dalam hidupnya.
Nyai Sila pun menuju kamar tidurnya dan mengganti pakaiannya dengan gaun berenda kesayangannya. Lalu mempersilahkan sebuah cermin vertikal untuk menilainya. Lama dirinya terpaku sampai akhirnya tangan kirinya mengambil sebuah sisir berwarna perak dan menyisir helaian per helaian perak yang lengkap. Rambutnya pun tampak bagai mahkota yang agung pada paras wajah anggun yang penuh damai. Seakan sosok Nyai Sila yang tampak muram kejam dan penuh kebencian telah lenyap seperti waktu malam yang menutup kisah siang.
Pada postur berdiri dalam gerstur asing, matanya memberi tanda kedipan pengakuan di cermin vertikal yang hadir tepat di depannya. Di hitungan nafas ketiga, Nyai Sila pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju sumur tua yang berada di halaman belakang rumahnya. Sambil terus berjalan dengan langkah kaki yang lambat, Nyai Sila menyisiri ruang-ruang yang ada hingga tangan kirinya menggapai gagang pintu menuju halaman belakang. Krekkk... Terbukalah pintu berornamen anggrek itu dan angin malam pun menyambut gaun putih berenda dengan lembutnya. Tanpa ketegengan dan ragu-ragu, Nyai Sila berjalan menuju mulut sumur sambil melangkah kecil melewati nisan-nisan yang telah dibuatnya dua puluh tahun lalu.
Setibanya tepat di pinggir sumur, lututnya bersimpuh luruh. Kedua tangannya membelai dinding luar sumur dan pipinya yang kisut mencoba menyentuh bibir sumur. Seketika seluruh tubuhnya dipasrahkan pada sahabat setianya yang bisu itu. Diletakkannya kepalanya yang mungil dengan gerai rambu peraknya yang berjuntai seperti sebuah jenggot musa yang menempel di dinding bagian dalam sumur, berayun menyapa heningnya kedalaman yang gelap. Waktu seakan terhenti sesaat tepat di tempat itu. “Aku adalah Kau. Kau adalah Aku”, bisik Nyai Sila pada sahabat batanya itu.
Mendadak suara gema merambat menaiki patahan-patahan bata menuju ruang teratas hingga akhirnya Nyai Sila pun bersiap berdiri dan tiba-tiba saja dari arah yang berlawanan di kejauhan; “Ibu... Kami pulang...”, suara asing itu telah menggetarkan hatinya hingga tanpa kesadaran penuh, gaunnya terjepit di salah satu ranting yang mengulir erat di sekitar dinding sumur dan membuatnya terjatuh ke dalam sebuah kedalaman yang sempit dan gelap.
Disusul dengan langkah ringan berlari dari sepasang kaki anak bungsu Nyai Sila yang bernama Tara menuju arah suara dimana ibunya telah terjatuh ke dalam sumur tua yang tak lagi berfungsi itu. Jerit dan isak tangis pun menggema dan kedua kakaknya yang masih berada di halaman depan rumah bergegas menyusul adiknya. Ketiganya menatap dalam ke sebuah lubang gelap yang sangat dalam dimana ibu yang telah melahirkannya terjatuh tepat saat kedatangan mereka.
--------------------------------------
Jakarta, 15 November 2015
Photo dari Dus 4 Me edited by photoshop
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H