Tiba-tiba saja, seekor tokek yang masih setia bermukin dalam para rumahnya, berbunyi di tempo lima per lima. Bunyi-bunyian meditatif menghantarkan bulan yang sedang merayapi langitan dengan gemulainya lengkungan. Suasana kenaikan malam pun terasa begitu kelam dan pekat. Ada warna hitam yang terbalut awan tebal tanpa rencana hujan dengan kedipan bintang serta senyum sinis rembulan pada daratan yang memanas, mendidih, sekaligus melelehkan Nyai Sila di hari akhirnya.
Perlahan tubuh bungkuknya berdiri dengan intensitas nafas yang sangat lambat. Tangan kanannya membantu menopang tubuh lelah itu berdiri. Pada tatapan bola mata yang tajam dan pasti, Nyai Sila mengarahkan kedua kakinya menuju sumur kesayangannya melalui dalam rumah. Satu per satu benda-benda yang menghiasi isi rumahnya disentuh dan ciuminya seakan hendak berpamit seperti sebuah ucapan terima kasih yang tak terhingga telah menjadi sehabat dalam hidupnya.
Nyai Sila pun menuju kamar tidurnya dan mengganti pakaiannya dengan gaun berenda kesayangannya. Lalu mempersilahkan sebuah cermin vertikal untuk menilainya. Lama dirinya terpaku sampai akhirnya tangan kirinya mengambil sebuah sisir berwarna perak dan menyisir helaian per helaian perak yang lengkap. Rambutnya pun tampak bagai mahkota yang agung pada paras wajah anggun yang penuh damai. Seakan sosok Nyai Sila yang tampak muram kejam dan penuh kebencian telah lenyap seperti waktu malam yang menutup kisah siang.
Pada postur berdiri dalam gerstur asing, matanya memberi tanda kedipan pengakuan di cermin vertikal yang hadir tepat di depannya. Di hitungan nafas ketiga, Nyai Sila pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju sumur tua yang berada di halaman belakang rumahnya. Sambil terus berjalan dengan langkah kaki yang lambat, Nyai Sila menyisiri ruang-ruang yang ada hingga tangan kirinya menggapai gagang pintu menuju halaman belakang. Krekkk... Terbukalah pintu berornamen anggrek itu dan angin malam pun menyambut gaun putih berenda dengan lembutnya. Tanpa ketegengan dan ragu-ragu, Nyai Sila berjalan menuju mulut sumur sambil melangkah kecil melewati nisan-nisan yang telah dibuatnya dua puluh tahun lalu.
Setibanya tepat di pinggir sumur, lututnya bersimpuh luruh. Kedua tangannya membelai dinding luar sumur dan pipinya yang kisut mencoba menyentuh bibir sumur. Seketika seluruh tubuhnya dipasrahkan pada sahabat setianya yang bisu itu. Diletakkannya kepalanya yang mungil dengan gerai rambu peraknya yang berjuntai seperti sebuah jenggot musa yang menempel di dinding bagian dalam sumur, berayun menyapa heningnya kedalaman yang gelap. Waktu seakan terhenti sesaat tepat di tempat itu. “Aku adalah Kau. Kau adalah Aku”, bisik Nyai Sila pada sahabat batanya itu.
Mendadak suara gema merambat menaiki patahan-patahan bata menuju ruang teratas hingga akhirnya Nyai Sila pun bersiap berdiri dan tiba-tiba saja dari arah yang berlawanan di kejauhan; “Ibu... Kami pulang...”, suara asing itu telah menggetarkan hatinya hingga tanpa kesadaran penuh, gaunnya terjepit di salah satu ranting yang mengulir erat di sekitar dinding sumur dan membuatnya terjatuh ke dalam sebuah kedalaman yang sempit dan gelap.
Disusul dengan langkah ringan berlari dari sepasang kaki anak bungsu Nyai Sila yang bernama Tara menuju arah suara dimana ibunya telah terjatuh ke dalam sumur tua yang tak lagi berfungsi itu. Jerit dan isak tangis pun menggema dan kedua kakaknya yang masih berada di halaman depan rumah bergegas menyusul adiknya. Ketiganya menatap dalam ke sebuah lubang gelap yang sangat dalam dimana ibu yang telah melahirkannya terjatuh tepat saat kedatangan mereka.
--------------------------------------
Jakarta, 15 November 2015