Mohon tunggu...
Zulkarnaen
Zulkarnaen Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka Buku dan Kopi Jahe

Berbagi, mengikat, dan menyusun ide yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi Novia Widyasari dan Mindset tentang Agama yang Salah

15 Desember 2021   07:07 Diperbarui: 15 Desember 2021   07:20 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber foto: Magdalene.co)

Lepasnya ikatan-ikatan sosial manusia menjadi penyebab terjadinya bunuh diri di dunia. Adalah kasus Novia  Widyasari Rahayu yang sangat merefresentasikan apa yang dikatakan Durkheim tentang teori bunuh diri. Novia sudah tak menemukan tempat untuk dirinya di dunia ini. Ia telah berusaha meminta bantuan baik ke keluarga, keluarga laki-laki yang menghamilinya, dan polisi.

Namun apa yang didapat adalah cacian, penolakan, laporannya juga seperti tak digubris. Hal tersebut menjadi tekanan batin di dalam diri Novia yang berumur 23 tahun itu. Mungkin juga, ia telah merasa sangat bersalah telah menggugurkan kandungannya yang sebelumnya. Mungkin, ia mulai berpikir bahwa pacarnya tidak akan menikahinya, hanya sekedar dijadikan sebagai pelampiasan nafsu.

Menurut penulis, Novia sebagai seorang muslimah, mungkin juga sangat merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Hal ini disebabkan karena dogma keharaman senggama di luar nikah yang umum diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Sebagai mahasiswi yang masih muda, ia juga sepertinya memiliki pandangan yang muda terhadap agamanya sendiri, yakni Islam.

Islam mungkin dilihatnya sebagai "fikih" saja. Dalam arti bahwa, ia melihat realitas dunia yang serba hitam dan putih, sebagai sesuatu yang halal dan haram, salah  dan benar, dosa kecil dan dosa besar. Dalam hal ini, apa yang ia lakukan bersama pacarnya adalah sesuatu yang haram. Tentu ini juga menekan batinnya dan membuatnya tidak tenang. Ia mungkin sudah berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah dosa besar meskipun ia tak mengungkapkannya di media.

Dalam kaitan itu, mungkin Durkheim juga dalam teori bunuh diri-nya alfa terhadap relasi dogma agama dan kesehatan mental. Terlebih dalam perkara seperti ini, agama-agama samawi sangat tegas. Bahkan dalam Islam sendiri oleh ulama' menjelaskan hukumannya berdasarkan katagori apakah ia muhsan atau goiru muhson.

Cara pandang "fikih" ansich sangat berbahaya bagi seorang muslim-muslimah. Bisa membuat kita mudah putus asa. Bahkan sangat mudah untuk menyatakan kesulitan yang dialami setelah melakukan dosa sebagai hukuman tuhan.

Selain cara pandang yang bahaya, cara pandang tersebut juga merupakan cara pandang yang salah terhadap agama. Agama tak sesimpel itu. Tidak mungkin tuhan hanya memberikan panduan yang membuat hambanya mudah putus asa terhadap rahmat-Nya.

Fikih hanyalah satu aspek dari trilogi dasar dalam Islam. Karenanya tidak pas melihat agama hanya sekedar fikih. Ada dua hal lainnya yang harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang muslim-muslimah, yakni iman dan ihsan.

Secara sederhana, iman merupakan aspek keyakinan, fikih merupakan aspek norma dalam kehidupan, dan ihsan sebagai aspek keindahan dan ketenangan. Ketiga hal ini lah yang harus menjadi nilai yang hidup dalam kehidupan setiap muslim-muslimah.

Dalam hal ini, cara pandang ihsan sangat penting dimiliki oleh setiap muslim-muslimah. Cara pandang tersebut akan menentukan mudah tidaknya keputusasaan seorang muslim-muslimah. Selain itu, ia juga turut menentukan ketenangan.

Bagaimana tidak, di dalam Ihsan, kita akan menemukan berbagai hal yang membuat kita optimis dari kesalahan yang pernah kita lakukan. Misalnya bagaimana dalam hadits qudsi diterangkan bahwa, bagaimanapun dosa kita, mau sebesar bumi, alam semesta, sebanyak buih di lautan, jika kita mendekat kepada Allah sejengkal saja, Allah akan mendekati kita sehasta. Allah menunggu kita bertobat dan Ia sangat menyukai hamba yang bertobat.

Selain itu, banyak sekali yang membuat setiap kita harus optimis kepada Allah. Misalnya bagaimana keterangan hadits tentang seorang pelacur yang masuk syurga karena Allah merahmatinya. Karena memang bukan amal perbuatan yang membuat manusia masuk syurga, tetapi rahmat Allah itu sendiri.

Tulisan ini tentu tidak menganjurkan kita untuk melakukan dosa setelah tahu bahwa Allah maha pengampun. Tulisan ini hanya mengurai bahwa memandang Islam hanya "fikih" saja adalah hal yang sangat berbahaya dan merupakan cara yang salah dalam beragama.  

Selain itu, kita tak boleh mudah putus asa. Ia bertentangan dengan nilai dari firman Allah yang mengatakan "la tai asu min rouhillah," jangan putus asa dari rahmat Allah SWT. Terakhir, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tragedi Novia. Dan untuk Novia, Allah selalu siap menjadi tempat kita bersandar ketika dunia mencampakkan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun