Mohon tunggu...
Zulkarnaen
Zulkarnaen Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka Buku dan Kopi Jahe

Berbagi, mengikat, dan menyusun ide yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Ada Bidadari untuk Laki-Laki, Tafsir Gender Aminah Wadud

9 Desember 2021   10:17 Diperbarui: 9 Desember 2021   10:26 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber foto : Tribun Pekanbaru) 

Tempo lalu di acara pemakaman, seorang tuan guru (kyai dalam bahasa Jawa) menyampaikan ta'ziah di sebuah pekuburan. Tuan guru tersebut memulai takziahnya dari pembahasan alam-alam yang akan dilalui oleh setiap manusia. Mulai dari alam yang disebut dengan alam azali, sebuah alam dimana setiap manusia---semuanya---melakukan persaksian. Tuhan kala itu memberikan pertanyaan "alastu birobbikum?". Lalu setiap manusia menjawab "qoolu bala". 

Itulah yang disebut sebagai alam azali, alam yang pertama sebelum manusia memasuki alam dunia. Alam dunia sendiri, secara sederhana adalah alam dimana manusia menyiapkan diri mereka sebelum masuk alam ketiga, sebuah alam tanpa jasad. Menurut tuan guru tersebut, tubuh akan menjadi tanah, sedang ruh akan menghadap Allah SWT. Hingga sampailah isi takziah itu pada pembahasan syurga.

"Ada 4000 bidadari disediakan Allah untuk laki-laki di syurga kelak," imbuh tuan guru di depan jama'ah pengantar jenazah yang dominan perempuan. Pekerjaan kita di syurga nanti adalah pengantenan (bahasa yang lebih halus daripada hubungan suami istri). Sontak jama'ah laki-laki tertawa dan senyam-senyum. Sedang jama'ah perempuan hanya senyum mendengar hal itu. Saya tidak tahu apa yang jama'ah perempuan pikirkan saat itu. Namun biasanya mereka menganggap keterangan tuan guru sebagai satu ajaran yang harus diterima.

Setelah mendengar soal bidadari, sontak muncul sebuah pertanyaan di benak saya. "Lalu apa yang diberikan Allah terhadap perempuan di syurga setelah memberikan 4000 bidadari terhadap laki-laki. Apakah ada 4000 laki-laki juga untuk perempuan?" Saya berharap tuan guru menjelaskan itu juga saat itu. Namun sesuai prediksi, tuan guru itu tidak menjelaskannya. Sebenarnya keterangan 4000 sudah cukup sering saya dengar, namun perkara perempuan tak pernah dibahas. 

Narasi Bidadari Dalam Al-Qur'an

Kata bidadari dalam Al-Qur'an disebut dengan kata "huurun in". Kata ini ditemukan dalam banyak surat. Misalnya adalah surat ad-dukhon ayat 44, surat at-tur ayat 20, surat ar-rahman ayat 55, surat al-waqiah ayat 22, surat as-sofat ayat 48 dan lain seterunya. Masing-masing surat menjelaskan bagaimana bidadari itu. Kesucianya, keperawanannya, keterjagaan pandangan dan kehormatannya. Al-Qur'an menjelaskannya sangat baik dalam memberikan kita bagaimana gambaran bidadari.

Misalnya terjemahan surat Al-Waqi'ah ayat 35-37.

"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh cinta lagi sebaya umurnya". (Q.S al-Waqi'ah[56]: 35-37).

Bidadari & Sejarah Singkatnya

Bidadari menurut tulisan Nur Saidah dalam "Bidadari Dalam Konstruksi Tafsir Al-Qur'an: Analisis Gender atas Pemikiran Aminah Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al Qur'an" adalah bagian dari cara dakwah Rosulullah SAW. Penggunaan kata bidadari digunakan Rosulullah SAW kala berada di Makkah di masa awal-awal Islam. Karena periode di Madinah, kata bidadari tidak digunakan kembali, melainkan penggunaan kata azwaj atau pasangan (laki dan perempuan). Sedang pasca azwaj, Rosulullah menjelaskan perkara yang lebih tinggi dari keduanya, yakni bertemu dengan tuhan di syurga.

Menurut Saidah, berdasarkan pandangan Aminah Waduh, selama ini tafsiran Al Qur'an telah bias tafsir. Perempuan selalu menjadi manusia kelas dua. Laki-laki dalam kurun sejarah, telah banyak menafsirkan Al Qur'an berdasar kelelakiannya dan mereka tak cukup paham bagaimana perempuan. Dalam konteks inilah Aminah Wadud tampil sebagai seorang perempuan yang mencoba menjelaskan konteks bidadari pada posisi sebenarnya. Dengan pendekatan hermeneutika dan konsep keadilan gender. Hingga ia menemukan konteks penggunaan kata bidadari. Yakni di masa awal-awal Islam ketika ia berdialog dengan elit-elit kaum Jahiliah (lebih lanjut baca: Nur Saidah).

Bidadari kemudian adalah sesuatu yang tidak ada. Kata bidadari dalam Al Qur'an hanyalah gambaran bagaimana syurga kelak yang merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Kenikmatan dunia terlalu sedikit dibanding kenikmatan yang ada di akhirat. Pada konteks inilah bidadari diposisikan. Menegaskan perkara yang lebih indah untuk kaum jahiliah dahulu yang tak mau menerima kebenaran. Nabi berdakwah dengan menyebut hal itu, sembari kelak menjelaskan kenikmatan terbesar bagi setiap hamba, baik laki-laki dan perempuan adalah bertemu dengan-Nya langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun