Bidadari menurut tulisan Nur Saidah dalam "Bidadari Dalam Konstruksi Tafsir Al-Qur'an: Analisis Gender atas Pemikiran Aminah Wadud Muhsin dalam Penafsiran Al Qur'an" adalah bagian dari cara dakwah Rosulullah SAW. Penggunaan kata bidadari digunakan Rosulullah SAW kala berada di Makkah di masa awal-awal Islam. Karena periode di Madinah, kata bidadari tidak digunakan kembali, melainkan penggunaan kata azwaj atau pasangan (laki dan perempuan). Sedang pasca azwaj, Rosulullah menjelaskan perkara yang lebih tinggi dari keduanya, yakni bertemu dengan tuhan di syurga.
Menurut Saidah, berdasarkan pandangan Aminah Waduh, selama ini tafsiran Al Qur'an telah bias tafsir. Perempuan selalu menjadi manusia kelas dua. Laki-laki dalam kurun sejarah, telah banyak menafsirkan Al Qur'an berdasar kelelakiannya dan mereka tak cukup paham bagaimana perempuan. Dalam konteks inilah Aminah Wadud tampil sebagai seorang perempuan yang mencoba menjelaskan konteks bidadari pada posisi sebenarnya. Dengan pendekatan hermeneutika dan konsep keadilan gender. Hingga ia menemukan konteks penggunaan kata bidadari. Yakni di masa awal-awal Islam ketika ia berdialog dengan elit-elit kaum Jahiliah (lebih lanjut baca: Nur Saidah).
Bidadari kemudian adalah sesuatu yang tidak ada. Kata bidadari dalam Al Qur'an hanyalah gambaran bagaimana syurga kelak yang merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Kenikmatan dunia terlalu sedikit dibanding kenikmatan yang ada di akhirat. Pada konteks inilah bidadari diposisikan. Menegaskan perkara yang lebih indah untuk kaum jahiliah dahulu yang tak mau menerima kebenaran. Nabi berdakwah dengan menyebut hal itu, sembari kelak menjelaskan kenikmatan terbesar bagi setiap hamba, baik laki-laki dan perempuan adalah bertemu dengan-Nya langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H