Mohon tunggu...
Priyono
Priyono Mohon Tunggu... Guru - A teacher, tutor and a loving father

Seorang ayah dan praktisi pendidikan yang peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi, Solusi Pemerataan atau Sumber Ketidakadilan?

12 Desember 2019   16:43 Diperbarui: 12 Desember 2019   16:47 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2017 menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia pada saat itu Prof Muhadjir effendi, mencanangkan sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada sekolah-sekolah yang diselanggarakan pemerintah daerah (sekolah negeri) dan diimplementasikan pada PPDB tahun 2018 dan tahun 2019.

Program tersebut terus diperbaiki dan diperkuat dengan Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) hingga Desember tahun lalu kementerian pendidikan mengeluarkan Permendikbud nomor 51 tahun 2018.

Permendikbud tersebut menyatakan bahwa PPDB sekolah-sekolah negeri  tahun 2019  menggunakan sistem zonasi, dimana penerimaan calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan dan jika peserta didik baru memiliki jarak  yang sama.

Untuk PPDB siswa 7 SMP nilai UASBN lebih tinggi yang dijadikan prioritas sedangkan untuk PPDB siswa 10 SMA siswa yang mendaftar lebih dulu yang mendapat prioritas[1]. Sistem zonasi tersebut merupakan penyelesaian dari pak Muhadjir untuk menjawab masalah pemerataan pendidikan di Indonesia.

Pemerataan pendidikan memang sudah menjadi masalah yang sering muncul pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 yang diolah oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), 1 % dari peserta yang berasal dari Indonesia mampu mencapai nilai tinggi, bersaing dengan peserta dari negara-negara maju di bidang matematika dan sejumlah peserta Indonesia (dengan persentase yang dapat diabaikan) mampu mencapai nilai tinggi di bidang sains dan membaca.

Namun, secara keseluruhan nilai rata-rata peserta Indonesia jauh di bawah nilai rata-rata OECD pada ketiga bidang tersebut. [2] Hasil tersebut dapat  menggambarkan betapa besarnya gap ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Tes PISA sendiri dilakukan dengan menguji 5000 siswa yang sampelnya diambil secara acak dari seluruh indonesia. 

Untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pendidikan tersebut Prof. Muhadjir mencetuskan Program zonasi. Dimana program tersebut diharapkan mampu menghilangkan label-label sekolah unggulan yang selama ini melekat pada sekolah-sekolah di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Dengan hilangnya label unggulan tersebut diharapkan siswa-siswa yang pintar akan tersebar lebih merata di berbagai zona karena jarak rumah ke sekolah menjadi prioritas utama PPDB.

Hal itu akan mengakibatkan kualitas sekolah menjadi lebih merata, kemampuan guru-guru lebih terukur sehingga ke depannya jumlah siswa dan guru yang berada di sekolah-sekolah lebih tersebar dan merata. Dengan begitu diharapkan pemerataan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

Namun, pada proses pelaksanaan PPDB tahun 2019 kemarin muncul masalah-masalah yang justru ditimbulkan dari sistem zonasi itu sendiri. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengumpulkan 9 masalah yang muncul dari PPDB 2019 yang menggunakan sistem zonasi berdasarkan pengaduan masyarakat [3]:

1. Penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan. Pembangunan daerah yang tidak memiliki tata ruang yang baik mengakibatkan penyediaan sekolah oleh pemerintah daerah didasari pada jumlah sekolah yang dibutuhkan tanpa ada analisis kepadatan penduduk dan posisi sekolah. Hal tersebut tidak sejalan dengan PPDB sistem zonasi yang berbasis jarak tempat tinggal ke sekolah.

Ada kasus sekolah yang berada di kawasan padat penduduk jarak terjauh rumah seorang siswa yang diterima di sekolah tersebut hanya 700 m. Artinya seorang siswa yang memiliki jarak tempat tinggal lebih dari 700 m tidak bisa diterima di sekolah tersebut.

Namun ada juga sekolah yang berada di kawasan yang penduduknya tidak padat siswa terjauhnya mencapai jarak  3 km. Bahkan ada sekolah negeri yang berada di kawasan jarang penduduk atau memang jauh dari pemukiman tidak dapat memenuhi jumlah kursinya atau dengan kata lain kekurangan siswa.    

2. Ada calon siswa yang tidak terakomodasi, karena tidak bisa mendaftar ke sekolah manapun. Siswa-siswa yang bertempat tinggal di suatu wilayah yang memiliki jarak yang sama jauhnya dengan sekolah manapun mengakibatkan dirinya tidak bisa diterima di sekolah manapun walaupun dia berprestasi (memiliki nilai UN tinggi).

Akan sangat sedih jika ternyata siswa tersebut berasal dari keluarga tidak mampu yang semestinya mendapatkan support dari pemerintah untuk pendidikannya namun pendidikannya terhambat karena tidak bisa mendaptkan support yang seharusnya didapatkan karena terkait sistem ini. 

3. Orangtua mengantre hingga menginap di sekolah. Karena ada aturan tambahan urutan mendaftar menjadi patokan kedua PPDB untuk siswa SMA (ketika jarak sekolah sama) banyak kasus sejumlah orangtua yang menginap untuk mendapatkan antrian lebih awal.  Terutama pada sekolah-sekolah yang memiliki label unggulan. 

4. Minimnya sosialisasi sistem PPDB ke para calon peserta didik dan orangtuanya, sehingga menimbulkan kebingungan. Hal ini terkait juga pada masalah sebelumnya dimana terjadi kasus orangtua siswa yang walaupun jarak rumahnya dekat tetapi tetap mengantre padahal peluang diterimanya besar ataupun sebaliknya orangtua yang memiliki jarak rumah relatif jauh ikut mengantre karena berharap dapat diterima walaupun kemungkinannya sangat kecil.

Kebingungan tersebut juga berkaitan dengan jumlah SMA negeri yang sedikit di beberapa daerah sehingga para orangtua takut anaknya tidak dapat sekolah di sekolah negeri

5. Masalah kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran secara online. PPDB yang online menjadi semakin kacau ketika server yang digunakan mengalami system down atau koneksi internet yang tidak stabil dan bahkan terputus

6. Transparansi kuota per zonasi yang sering menjadi pertanyaan masyarakat, termasuk kuota rombongan belajar dan daya tampung.

Permendikbud 51/2018 menentukan maksimal jumlah Rombel per kelas untuk SD 28, untuk SMP 32 dan untuk SMA/SMK 36 siswa.

7. Penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang melibatkan kelurahan, sehingga di PPDB tahun 2019 titik tolak zonasi dari Kelurahan.

8. Soal petunjuk teknis (juknis) yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat, dan terkadang petugas penerima pendaftaran juga kurang paham.

9. Karena jumlah sekolah negeri yang tidak merata di setiap kecamatan maka beberapa pemerintah daerah membuat kebijakan menambah jumlah kelas dengan sistem 2 shift (pagi dan siang).

Segala kekacauan di atas diperkirakan akan terulang kembali jika menteri pendidikan yang baru tidak mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk PPDB tahun 2020. Di kota-kota berkembang, sistem zonasi tersebut semakin menimbulkan masalah-masalah baru ketika pertambahan jumlah angkatan sekolah tidak diiringi dengan pertambahan jumlah sekolah.

Kota Depok misalnya, kota berpenduduk 2,3 juta ini [4] hanya memiliki 13 SMA Negeri yang tersebar di seluruh kecamatan. Namun ada kecamatan yang merupakan kawasan padat penduduk hanya memiliki 1 SMA negeri.

Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang lebih komprehensif dan selaras dalam PPDB dan penyediaan fasilitas belajar dari kementerian pendidikan  agar masalah-masalah yang menyertai penerapan PPDB sistem zonasi ini bisa terselesaikan dengan tuntas.

Pada tanggal 11 Desember 2019, menteri pendidikan baru Bapak Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan ini memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan dan para pelaku pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah.

Dalam kebijakan tersebut ada dua pokok kebijakan yang berkaitan dengan proses PPDB. Pertama, untuk PPDB Zonasi pak menteri memberikan fleksibilitas dalam kebijakan PPDB di semua daerah terkait dengan persentase jumlah siswa yang diterima lewat jalur zonasi diturunkan menjadi 50% (sebelumnya 80%) dan penambahan jalur afirmasi untuk penyandang disabilitas dan anak kurang mampu sebanyak 15% (sebelumnya tidak ada).

Pak menteri juga memberikan kebebasan untuk masing-masing daerah dalam penetapan zonasinya sendiri disesuaikan dengan ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Program kedua, meniadakan UN untuk tahun 2021 dan menggantinya dengan ujian Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKMSK). Pada program PPDB sebelumnya nilai UN masih menjadi salah satu faktor penentu PPDB di beberapa daerah (terutama di DKI Jakarta), namun Ujian Nasional yang selama ini dijadikan potret kemampuan siswa dan kualitas sekolah dihapuskan oleh Menteri Nadiem dan diganti AKMSK.

Artinya beberapa daerah yang sebelumnya menggunakan nilai UN sebagai salah satu faktor penentu dalam PPDB mesti menyesuaikan terutama untuk PPDB 2021 mengingat AKSMK yang menggantikan UN ditujukan bukan untuk kelas ujung (6 SD,9 SMP, dan 12 SMA) namun untuk kelas pertengahan (4 SD, 8 SMP, dan 11 SMA).

Di sisi lain menteri Nadiem juga membuka kelonggaran pada jalur prestasi yang memiliki presentase kursi 0-30%, diharapkan jalur prestasi ini mampu mengakomodir siswa-siswa pintar yang kesulitan mencari sekolah terdekat dari tempat tinggalnya untuk dapat diterima di sekolah negeri.

Sebagai penutup, suatu fakta bahwa PPDB sistem zonasi 2019 kemarin memunculkan masalah-masalah yang menimbulkan ketidakadilan pada sebagian siswa peserta PPDB tahun itu.

Harapan penulis semoga bapak menteri Nadiem yang memutuskan untuk tetap menyelenggarakan PPDB dengan sistem zonasi dan meniadakan UN bisa menemukan solusi untuk masalah-masalah tersebut dengan kebijakan Merdeka Belajarnya.

Namun penulis perlu mengingatkan bahwa masalah pemerataan pendidikan bukanlah masalah yang sederhana yang akan selesai dengan program zonasi saja, masih banyak PR-PR yang mesti diselesaikan berkaitan dengan pemerataan pendidikan seperti ketidakmerataan fasilitas pendidikan di berbagai daerah, berkumpulnya guru-guru di kota-kota besar dan kekurangan guru di tempat-tempat terpencil. 

[1] Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomer 51 tahun 2018

[2]https://www.oecd.org/pisa/Combined_Executive_Summaries_PISA_2018.pdf

[3] https://wartakota.tribunnews.com/2019/06/20/kpai-ada-9-masalah-utama-di-ppdb-sistem-zonasi.

[4] https://depokkota.bps.go.id/statictable/2019/10/18/56/jumlah-penduduk-menurut-kecamatan-dan-jenis-kelamin-jiwa-2018.html 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun