7. Penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang melibatkan kelurahan, sehingga di PPDB tahun 2019 titik tolak zonasi dari Kelurahan.
8. Soal petunjuk teknis (juknis) yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat, dan terkadang petugas penerima pendaftaran juga kurang paham.
9. Karena jumlah sekolah negeri yang tidak merata di setiap kecamatan maka beberapa pemerintah daerah membuat kebijakan menambah jumlah kelas dengan sistem 2 shift (pagi dan siang).
Segala kekacauan di atas diperkirakan akan terulang kembali jika menteri pendidikan yang baru tidak mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk PPDB tahun 2020. Di kota-kota berkembang, sistem zonasi tersebut semakin menimbulkan masalah-masalah baru ketika pertambahan jumlah angkatan sekolah tidak diiringi dengan pertambahan jumlah sekolah.
Kota Depok misalnya, kota berpenduduk 2,3 juta ini [4] hanya memiliki 13 SMA Negeri yang tersebar di seluruh kecamatan. Namun ada kecamatan yang merupakan kawasan padat penduduk hanya memiliki 1 SMA negeri.
Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang lebih komprehensif dan selaras dalam PPDB dan penyediaan fasilitas belajar dari kementerian pendidikan  agar masalah-masalah yang menyertai penerapan PPDB sistem zonasi ini bisa terselesaikan dengan tuntas.
Pada tanggal 11 Desember 2019, menteri pendidikan baru Bapak Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan ini memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan dan para pelaku pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah.
Dalam kebijakan tersebut ada dua pokok kebijakan yang berkaitan dengan proses PPDB. Pertama, untuk PPDB Zonasi pak menteri memberikan fleksibilitas dalam kebijakan PPDB di semua daerah terkait dengan persentase jumlah siswa yang diterima lewat jalur zonasi diturunkan menjadi 50% (sebelumnya 80%) dan penambahan jalur afirmasi untuk penyandang disabilitas dan anak kurang mampu sebanyak 15% (sebelumnya tidak ada).
Pak menteri juga memberikan kebebasan untuk masing-masing daerah dalam penetapan zonasinya sendiri disesuaikan dengan ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Program kedua, meniadakan UN untuk tahun 2021 dan menggantinya dengan ujian Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKMSK). Pada program PPDB sebelumnya nilai UN masih menjadi salah satu faktor penentu PPDB di beberapa daerah (terutama di DKI Jakarta), namun Ujian Nasional yang selama ini dijadikan potret kemampuan siswa dan kualitas sekolah dihapuskan oleh Menteri Nadiem dan diganti AKMSK.
Artinya beberapa daerah yang sebelumnya menggunakan nilai UN sebagai salah satu faktor penentu dalam PPDB mesti menyesuaikan terutama untuk PPDB 2021 mengingat AKSMK yang menggantikan UN ditujukan bukan untuk kelas ujung (6 SD,9 SMP, dan 12 SMA) namun untuk kelas pertengahan (4 SD, 8 SMP, dan 11 SMA).