Mohon tunggu...
Maria Nofaola
Maria Nofaola Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sapaannya Kak Ola, seorang Psikolog Klinis, guru yoga, pelaku bisnis, dan pecinta seni yang suka menuturkan segala hal yang disukainya ke dalam tulisan. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di blog http://www.MariaNofaola.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

"Gimana Menyikapi LGBT, La?"

28 Februari 2016   23:59 Diperbarui: 3 Februari 2019   14:31 15380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bendera pelangi yang menjadi simbol para LGBT. Simbol itu dibuat oleh seniman asal San Fransisco, Gilbert Baker, pada tahun 1978 | Wikipedia.org

Kita tidak bisa bertindak semena-mena. Tindakan kita pun diatur oleh Undang-undang. Pasal 86 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dan, pada pasal 85, dipaparkan bahwa semestinya peran kita selaku masyarakat sebaiknya:
a. memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa;
b. melaporkan adanya ODGJ yang membutuhkan pertolongan;
c. melaporkan tindakan kekerasan yang dialami serta yang dilakukan ODGJ;
d. menciptakan iklim yang kondusif bagi ODGJ;
e. memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada ODGJ;
f. memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran keluarga dalam penyembuhan ODGJ; dan
g. mengawasi fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa.

Nah, sudah semakin paham dengan LGBT (homoseksual, biseksual, transseksual)?
Sudah mulai dapat gambaran bagaimana menyikapi individu dengan LGBT?
Jika masih bingung bagaimana menyikapinya, tidak apa-apa. Itu tandanya kamu sedang berpikir secara rasional. Itu baik untuk kamu. 

Lalu, bagaimana menyikapi LGBT?
Mari kita sama-sama berpikir dengan kepala dingin. Bayangkan jika anak kita mengakui bahwa dia lesbian atau gay, atau biseksual, atau ingin berganti kelamin. Apa yang akan kita katakan jika teman dekat kita mengatakan, "I am gay. What should I do?". Apa yang akan kita lakukan jika adik atau kakak kita bilang, "Gue lesbian. Gue lebih bahagia hidup begini". 

Pendekatan persuasif
Tentu kita ingin orang-orang yang kita cintai itu kembali ke jalan yang benar (menurut kita, sesuai norma agama dan norma sosial), bukan? Apakah cara frontal; mengusirnya, memaki, marah-marah, bahkan menyambuknya dengan ikat pinggang, akan membuatnya berubah? Cara kasar belum tentu bisa mengubah sikap seseorang.

Sentuh aspek afektif, kognitif, dan konatifnya
Dalam psikologi (ilmu perilaku), salah satu cara mengubah sikap seseorang ialah dengan menyentuh aspek afektif, kognitif, dan konatif seseorang. Aspek afektif itu ialah sisi perasaan seseorang.

Artinya, dengan kesabaran, kasih sayang, cinta, dan penerimaan, kita justru bisa membuat seseorang berubah. Kita menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda. Kita mencintainya meskipun jalan hidupnya keliru. Kita sabar dalam membantunya mengubah pikirannya. Selain aspek afektifnya, kita pun perlu memperbaiki aspek kognitifnya.

Aspek kognitif ini adalah isi pikirannya atau cara berpikirnya. Kita boleh menjelaskan dan menyampaikan informasi terkait ajaran agama, norma-norma, nilai-nilai kehidupan, pandangan positif, dsb.

Kemudian, kita mulai mengarah ke aspek konatifnya, yaitu membuatnya bertindak menjauhi lingkungannya semula, mengubah dandanan, atau mengubah tampilan fisiknya. Semua ini dilakukan dengan teknik persuasif tentunya. Cara yang halus dan lembut, perlahan tapi pasti.

Kalau nggak mau berubah, gimana?
Di titik inilah kadang kita berjumpa dengan konsep hak asasi manusia. Kita ingin seseorang itu bersikap dan berperilaku baik seperti konsep yang ada di pikiran kita.

Namun, hal itu membuat mereka tersiksa, tidak nyaman, sakit, dan menderita. Jika mereka adalah anak, adik, kakak, atau sahabat dekat kita, apakah kita tetap akan berjuang mati-matian agar mereka berubah? Atau, melepaskan mereka untuk hidup bahagia dengan caranya yang tidak normatif? Nah, akhirnya kita semua sampai di titik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun