Ketakwaan menjadi pelindung utama bagi pemimpin dari sifat otoritarian dan korupsi. Pemimpin yang bertakwa sadar bahwa kekuasaannya adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Hal ini menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan mendorongnya untuk berlaku adil dan jujur. Rasulullah saw. berpesan, "Siapa saja yang diberi amanah untuk mengurus urusan umatku, lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka Allah akan berlaku lembut kepadanya." (HR Muslim).
Tantangan Pencitraan di Era Modern
Di era modern, pencitraan sering kali menjadi alat untuk meraih simpati rakyat. Media sosial memungkinkan seorang calon pemimpin membangun citra tertentu yang disesuaikan dengan ekspektasi masyarakat. Namun, pencitraan tanpa integritas hanya akan menghasilkan kekecewaan setelah pemimpin terpilih.
Islam mengajarkan bahwa pemimpin yang sejati tidak membutuhkan pencitraan. Kepemimpinannya akan bersinar melalui akhlak dan amal nyata yang sesuai dengan syariat. Sejarah mencatat figur-figur pemimpin Islam yang menjadi teladan. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, pernah berkata, "Aku khawatir akan ditanya oleh Allah jika seekor keledai terpeleset di jalanan Irak karena aku tidak menyediakan jalan yang rata." Ungkapan ini menunjukkan betapa besar tanggung jawab yang dirasakan oleh seorang pemimpin Islam terhadap rakyatnya.
Figur Pemimpin pada Era Kejayaan Islam
Pemimpin pada masa kejayaan Islam memahami bahwa tugas mereka adalah memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi dan syariat Islam ditegakkan. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, menjadi simbol keadilan yang abadi. Ia sering berkeliling di malam hari untuk memastikan kondisi rakyatnya. Dalam salah satu peristiwa, Umar mendapati seorang ibu yang merebus batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Peristiwa ini membuat Umar segera memikul sendiri sekarung gandum ke rumah ibu tersebut. Ketika ajudannya menawarkan bantuan, Umar menjawab, "Apakah kau akan memikul dosa-dosaku di Hari Kiamat?"
Tindakan ini bukanlah bagian dari pencitraan, melainkan cerminan dari rasa tanggung jawab yang tulus sebagai pemimpin. Umar tidak melakukan itu untuk dilihat orang lain, tetapi semata-mata karena kesadaran akan amanah yang diembannya. Sebagaimana yang ia ungkapkan, "Aku khawatir akan ditanya oleh Allah jika seekor keledai terpeleset di jalanan Irak karena aku tidak menyediakan jalan yang rata." Hal ini menunjukkan bahwa bagi Umar, kepemimpinan bukan soal popularitas, melainkan kewajiban untuk melayani rakyat dengan penuh keikhlasan.
Contoh lainnya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika menjabat sebagai khalifah, ia dikenal sangat rendah hati dan tetap menjalankan tugas-tugas kecil seperti memerah susu kambing untuk tetangganya. Ketika ada yang bertanya mengapa ia masih melakukan pekerjaan tersebut setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menjawab, "Aku tidak ingin jabatan ini mengubahku." Sifat amanah dan sederhana Abu Bakar menjadi teladan kepemimpinan yang sejati, yang jauh dari segala bentuk pencitraan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meskipun hanya memerintah selama dua tahun, juga menjadi contoh pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Ia memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan, bahkan hingga dana zakat melimpah karena hampir tidak ada orang yang layak menerima zakat. Kesederhanaannya tidak pernah dirancang sebagai alat politik, melainkan lahir dari ketakwaannya kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H