Di era modern ini, pencitraan menjadi salah satu strategi yang paling sering digunakan dalam dunia politik. Lewat media sosial, calon pemimpin berlomba-lomba menampilkan kesan sederhana, dekat dengan rakyat, atau religius untuk menarik simpati publik. Namun, setelah pemilihan usai, tidak jarang rakyat hanya mendapatkan janji-janji kosong tanpa realisasi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pencitraan adalah ukuran sebenarnya dari kualitas seorang pemimpin?
Pesta demokrasi memilih para pemimpin daerah di negeri ini telah usai digelar akhir bulan lalu. Kini, wajah-wajah baru mulai menghiasi berbagai media sebagai pemimpin daerah yang akan membawa harapan rakyat. Meskipun masih ada wajah-wajah lama, rakyat tetap menantikan perubahan yang berarti. Namun, sering kali harapan ini berujung pada kekecewaan. Banyak calon pemimpin yang selama kampanye tampak dekat dengan rakyat kecil dan ulama, namun setelah terpilih, sikap mereka berubah drastis.
Lantas, seperti apa sebenarnya profil pemimpin yang ideal dalam Islam? Bagaimana Islam memandang kepemimpinan yang amanah di tengah godaan pencitraan yang kerap menjadi strategi dalam politik modern?
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
Islam memiliki konsep khas tentang kepemimpinan. Seorang pemimpin bukan sekadar penguasa, melainkan pelindung bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah raa'in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR Bukhari). Pemimpin dalam Islam dianalogikan sebagai penggembala yang mengayomi, mengarahkan, dan menjaga rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik tidak selalu berada di depan, tetapi juga di tengah untuk memahami kondisi rakyatnya, bahkan di belakang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Selain itu, Rasulullah saw. menyebut pemimpin sebagai perisai bagi rakyatnya. Dalam hadis disebutkan, "Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR Bukhari dan Muslim). Pemimpin yang ideal melindungi rakyat dari segala ancaman, baik fisik, moral, maupun spiritual, sekaligus menjaga harta dan kehormatan rakyatnya.
Kepemimpinan dalam Islam juga dipandang sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya." (HR Bukhari). Hadis ini menunjukkan betapa beratnya amanah kepemimpinan. Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk memastikan kebutuhan dasar rakyat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, terpenuhi dengan baik.
Kriteria Pemimpin yang Amanah
Dalam kitab As-Siysah Asy-Syar'iyyah, Ibnu Taimiyyah menyebutkan dua kriteria utama seorang pemimpin: kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Al-quwwah mencakup kompetensi dalam bidang pemerintahan, keadilan, dan kemampuan menerapkan syariat. Sedangkan al-amanah mencerminkan ketakwaan kepada Allah, kejujuran, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran.
Pemimpin juga harus memiliki tiga sifat penting: kekuatan kepribadian (quwwatu syakhshiyyah), ketakwaan (at-taqwa), dan kelembutan terhadap rakyatnya (ar-rifq bi ar-ra'iyyah). Sifat-sifat ini menjadikan pemimpin mampu mengambil keputusan yang tepat, bijaksana, dan sesuai dengan syariat Islam. Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar, "Tanggung jawab itu adalah amanah, dan kelak pada Hari Kiamat akan menjadi sebab kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakannya dalam kebenaran." (HR Muslim).