Mohon tunggu...
kakak irbah
kakak irbah Mohon Tunggu... Freelancer - content writer

Hai, sifat introvert membawaku senang dengan dunia menulis. Semoga karyaku bisa bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"When The Phone Rings": Antara Tsundere, Cinta Bucin dan Realita Pahit HAM

12 Desember 2024   06:13 Diperbarui: 12 Desember 2024   06:56 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com/Tyler Lastovich when the phone rings realita HAM

Drama When the Phone Rings lagi booming banget, sampai-sampai berhasil nangkring di ranking 2 global Netflix! Ceritanya bikin baper banyak orang, apalagi karena aktor utamanya pas banget memerankan sosok cowok kaya dengan kepribadian tsundere. Awalnya cool banget, kayak tembok es, tapi giliran jatuh cinta? Auto bucin parah ke istrinya.

Yang bikin beda, drama ini masang pasangan yang unik banget: seorang juru bicara dengan seorang wanita bisu. Dari luar kayak nggak nyambung, tapi justru ini yang bikin cerita makin berasa. Si suami, meskipun istrinya nggak bisa ngomong, tetap memperlakukannya dengan penuh cinta. Dia sadar kalau kata-kata bukan cuma soal suara---tapi soal rasa yang harus didengar.

Sayangnya, itu cuma cerita di layar kaca. Di dunia nyata, malah kebalik. Banyak orang yang punya suara, tapi nggak pernah benar-benar didengar. Hak-hak mereka tenggelam, kayak ombak yang hilang di tengah lautan.

Tak dipungkiri, cerita indah seperti itu seringkali jauh dari kenyataan, terutama kalau kita bicara tentang masalah HAM yang masih terus memprihatinkan hingga sekarang. Ambil contoh Palestina, yang hingga kini terus terperangkap dalam konflik berkepanjangan. Meski suara-suara mereka sudah ribuan kali diteriakkan, baik di forum internasional maupun di jalanan, kenyataannya tetap sama: hak-hak dasar mereka seolah diabaikan begitu saja. Tidak jarang, dunia hanya memberikan perhatian sesaat, lalu melanjutkan hidup mereka, seperti mengabaikan sebuah panggilan yang terdengar sayup, hanya untuk kembali tenggelam dalam rutinitas.

Keadaan ini jelas bertolak belakang dengan apa yang kita harapkan dalam kehidupan nyata---suara yang tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai dan diperjuangkan. Tengok saja dalam kasus Palestina, jutaan orang merasakan hal yang sama dengan sang istri bisu dalam drama tersebut di masa kecilnya: terjebak dalam keheningan, diabaikan, meskipun mereka berhak didengar. Inilah ironi kehidupan nyata, yang jauh dari romantisme yang digambarkan di layar kaca.

Berdasarkan laporan yang dirilis pada Kamis (24-10-2024), FRA menyebutkan bahwa perempuan, pria, dan anak-anak Muslim tidak hanya menjadi sasaran diskriminasi karena agama mereka, tetapi juga karena warna kulit, etnis, atau latar belakang imigran. FRA menemukan bahwa diskriminasi rasial mencapai 47%, angka ini meningkat dibandingkan dengan survei 2016 yang mencatatkan 39%. Negara dengan kasus tertinggi adalah Austria (71%), diikuti Jerman (68%) dan Finlandia (63%).

Dalam dunia kerja, FRA melaporkan bahwa umat Islam sering kali mengalami diskriminasi, baik saat mencari pekerjaan (39%) maupun di tempat kerja (35%), angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2016 yang masing-masing tercatat 31% dan 23%. Direktur FRA, Sirpa Rautio, mengungkapkan bahwa lonjakan rasisme dan diskriminasi terhadap Muslim di Eropa dipicu oleh konflik di Timur Tengah dan semakin diperburuk dengan narasi antimuslim.

Selain itu, fenomena islamofobia juga semakin parah. Laporan berjudul European Islamophobia Report 2020 menjelaskan bahwa islamofobia di Eropa meningkat pesat. Banyak berita palsu atau hoaks yang mendiskreditkan Muslim, seperti ujaran kebencian dan aksi antimuslim. Contohnya, di Prancis tercatat 1.142 kasus kejahatan ujaran kebencian, dengan 235 korban di antaranya adalah Muslim. Sementara itu, Austria melaporkan 812 insiden terkait islamofobia.

Lalu, apakah ini yang dimaksud dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia? Ketika Muslim hidup di negara-negara mayoritas non-Muslim, hak-hak mereka terdiskriminasi, dan martabat mereka tidak dihargai. Nilai-nilai kemanusiaan yang selalu dijunjung oleh aktivis HAM tiba-tiba terabaikan ketika pelanggaran tersebut dialami oleh seorang Muslim. Hukum dan norma kemanusiaan juga tampaknya lenyap begitu saja ketika Muslim Palestina teraniaya dan terjajah. PBB tiba-tiba bungkam dan tidak berdaya, sementara Barat memilih untuk menghindari konfrontasi dengan AS dan sekutunya, Zionis, lebih memilih berdiam diri daripada memperjuangkan keadilan.

Dalam analisis ini, jelas terlihat adanya standar ganda dalam penerapan hak asasi manusia (HAM) di dunia Barat. Suara yang dianggap layak didengar sering kali dipilih-pilih, tergantung pada siapa yang berbicara dan apa kepentingannya. Ketika hak-hak Muslim terampas, suara mereka diabaikan, tetapi ketika hak-hak orang Barat atau negara-negara tertentu terancam, mereka dengan cepat mengampanyekan keadilan dan menuding pihak lain sebagai pelanggar HAM. Hal ini mencerminkan adanya ketidakadilan yang mendalam dalam penerapan HAM, yang lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ideologi tertentu, ketimbang prinsip-prinsip kemanusiaan yang sejati.

Fenomena ini sangat erat kaitannya dengan latar belakang ideologi yang melahirkan konsep HAM itu sendiri. Seperti yang diketahui jika ide ini bersal dari Barat, HAM merupakan produk dari ideologi sekuler kapitalisme, yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Konsep kebebasan dalam pandangan sekuler ini sering kali terlepas dari nilai-nilai agama dan moral yang seharusnya menjadi landasan kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini, HAM lebih mengutamakan kebebasan pribadi yang tidak terikat oleh norma-norma agama atau aturan moral yang lebih besar. Hal ini membuat standar HAM sering kali bersifat relativistik, karena tidak ada pedoman yang jelas mengenai hak dan kewajiban antarindividu selain apa yang disepakati oleh konsensus manusia semata.

Namun, dalam sistem Islam, konsep HAM jauh berbeda. Islam tidak mengedepankan kebebasan mutlak, melainkan mengatur perilaku manusia dengan aturan yang sudah jelas dan terperinci melalui syariat. Islam memandang hak sebagai sesuatu yang harus dijaga dengan ketat, dengan tujuan utama untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas, seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Dalam Islam, kebebasan individu bukanlah hal yang utama, melainkan kepatuhan pada aturan Tuhan yang diyakini mampu menjaga keharmonisan hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak ada ruang untuk kebebasan yang dapat merusak tatanan sosial dan moral yang sudah ditetapkan.

Dengan demikian, standar ganda dalam penerapan HAM ini bukan hanya berkaitan dengan siapa yang mendapatkan haknya, tetapi juga dengan bagaimana hak tersebut dipahami. Dalam pandangan Barat, yang berfokus pada kebebasan individu, hak-hak tersebut sering kali terabaikan ketika menyangkut kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai sekuler. Sebaliknya, dalam Islam, hak-hak manusia diatur secara lebih terstruktur dan berlandaskan pada prinsip-prinsip moral yang lebih universal, tanpa tergantung pada pandangan individual atau konsensus sosial yang sementara.

Oleh karena itu, penting bagi kaum Muslim untuk menyadari bahwa HAM yang digembar-gemborkan oleh Barat sebenarnya hanyalah kamuflase dan alat propaganda untuk menjauhkan generasi Muslim dari penerapan Islam secara kafah. Allah Swt. menciptakan manusia untuk beribadah dan taat kepada-Nya (QS Adz-Dzariyat: 56), dan kewajiban kita adalah mengikuti ketentuan yang sudah digariskan oleh-Nya. Ketika kita menempatkan aturan manusia sebagai standar tertinggi, kita sebenarnya sudah berpaling dari hakikat tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu hidup menurut syariat Allah.

Untuk mewujudkan keadilan hakiki bagi kaum Muslim dan umat manusia pada umumnya, kita tidak bisa terus bergantung pada solusi-solusi sekuler atau bersandar pada nilai-nilai HAM ala Barat yang hanya mendukung kebebasan individual tanpa batas. Umat Islam membutuhkan sistem yang komprehensif, yaitu sistem dan kepemimpinan Islam, yang mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi oleh umat Muslim di seluruh dunia. Sistem Islam yang diterapkan secara kafah adalah solusi untuk menghentikan penjajahan, penganiayaan, diskriminasi, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh ideologi sekuler kapitalisme. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, kita dapat mencapai kedamaian dan keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk umat manusia di seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun