Drama When the Phone Rings lagi booming banget, sampai-sampai berhasil nangkring di ranking 2 global Netflix! Ceritanya bikin baper banyak orang, apalagi karena aktor utamanya pas banget memerankan sosok cowok kaya dengan kepribadian tsundere. Awalnya cool banget, kayak tembok es, tapi giliran jatuh cinta? Auto bucin parah ke istrinya.
Yang bikin beda, drama ini masang pasangan yang unik banget: seorang juru bicara dengan seorang wanita bisu. Dari luar kayak nggak nyambung, tapi justru ini yang bikin cerita makin berasa. Si suami, meskipun istrinya nggak bisa ngomong, tetap memperlakukannya dengan penuh cinta. Dia sadar kalau kata-kata bukan cuma soal suara---tapi soal rasa yang harus didengar.
Sayangnya, itu cuma cerita di layar kaca. Di dunia nyata, malah kebalik. Banyak orang yang punya suara, tapi nggak pernah benar-benar didengar. Hak-hak mereka tenggelam, kayak ombak yang hilang di tengah lautan.
Tak dipungkiri, cerita indah seperti itu seringkali jauh dari kenyataan, terutama kalau kita bicara tentang masalah HAM yang masih terus memprihatinkan hingga sekarang. Ambil contoh Palestina, yang hingga kini terus terperangkap dalam konflik berkepanjangan. Meski suara-suara mereka sudah ribuan kali diteriakkan, baik di forum internasional maupun di jalanan, kenyataannya tetap sama: hak-hak dasar mereka seolah diabaikan begitu saja. Tidak jarang, dunia hanya memberikan perhatian sesaat, lalu melanjutkan hidup mereka, seperti mengabaikan sebuah panggilan yang terdengar sayup, hanya untuk kembali tenggelam dalam rutinitas.
Keadaan ini jelas bertolak belakang dengan apa yang kita harapkan dalam kehidupan nyata---suara yang tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai dan diperjuangkan. Tengok saja dalam kasus Palestina, jutaan orang merasakan hal yang sama dengan sang istri bisu dalam drama tersebut di masa kecilnya: terjebak dalam keheningan, diabaikan, meskipun mereka berhak didengar. Inilah ironi kehidupan nyata, yang jauh dari romantisme yang digambarkan di layar kaca.
Berdasarkan laporan yang dirilis pada Kamis (24-10-2024), FRA menyebutkan bahwa perempuan, pria, dan anak-anak Muslim tidak hanya menjadi sasaran diskriminasi karena agama mereka, tetapi juga karena warna kulit, etnis, atau latar belakang imigran. FRA menemukan bahwa diskriminasi rasial mencapai 47%, angka ini meningkat dibandingkan dengan survei 2016 yang mencatatkan 39%. Negara dengan kasus tertinggi adalah Austria (71%), diikuti Jerman (68%) dan Finlandia (63%).
Dalam dunia kerja, FRA melaporkan bahwa umat Islam sering kali mengalami diskriminasi, baik saat mencari pekerjaan (39%) maupun di tempat kerja (35%), angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2016 yang masing-masing tercatat 31% dan 23%. Direktur FRA, Sirpa Rautio, mengungkapkan bahwa lonjakan rasisme dan diskriminasi terhadap Muslim di Eropa dipicu oleh konflik di Timur Tengah dan semakin diperburuk dengan narasi antimuslim.
Selain itu, fenomena islamofobia juga semakin parah. Laporan berjudul European Islamophobia Report 2020 menjelaskan bahwa islamofobia di Eropa meningkat pesat. Banyak berita palsu atau hoaks yang mendiskreditkan Muslim, seperti ujaran kebencian dan aksi antimuslim. Contohnya, di Prancis tercatat 1.142 kasus kejahatan ujaran kebencian, dengan 235 korban di antaranya adalah Muslim. Sementara itu, Austria melaporkan 812 insiden terkait islamofobia.
Lalu, apakah ini yang dimaksud dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia? Ketika Muslim hidup di negara-negara mayoritas non-Muslim, hak-hak mereka terdiskriminasi, dan martabat mereka tidak dihargai. Nilai-nilai kemanusiaan yang selalu dijunjung oleh aktivis HAM tiba-tiba terabaikan ketika pelanggaran tersebut dialami oleh seorang Muslim. Hukum dan norma kemanusiaan juga tampaknya lenyap begitu saja ketika Muslim Palestina teraniaya dan terjajah. PBB tiba-tiba bungkam dan tidak berdaya, sementara Barat memilih untuk menghindari konfrontasi dengan AS dan sekutunya, Zionis, lebih memilih berdiam diri daripada memperjuangkan keadilan.
Dalam analisis ini, jelas terlihat adanya standar ganda dalam penerapan hak asasi manusia (HAM) di dunia Barat. Suara yang dianggap layak didengar sering kali dipilih-pilih, tergantung pada siapa yang berbicara dan apa kepentingannya. Ketika hak-hak Muslim terampas, suara mereka diabaikan, tetapi ketika hak-hak orang Barat atau negara-negara tertentu terancam, mereka dengan cepat mengampanyekan keadilan dan menuding pihak lain sebagai pelanggar HAM. Hal ini mencerminkan adanya ketidakadilan yang mendalam dalam penerapan HAM, yang lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ideologi tertentu, ketimbang prinsip-prinsip kemanusiaan yang sejati.