Peran rantau jelaslah menjadi faktor paling penting bagi kemajuan intelektual tokoh Minang masa lampau. Ibarat bibit tanaman yang bagus bertemu dengan tanah yang bagus pula sehingga tumbuh menjadi tanaman yang subur dan bermanfaat bagi semesta.
Hamka dalam bukunya “Minangkabau Menghadapi Revolusi” terbit tahun 1963 mengatakan tokoh besar macam Tan Malaka, Syeikh Ahmad Chatib Al Minangkabawi, Hatta dan lain-lain mencapai kemajuan setelah mereka melepaskan ikatan dirinya daripada ikatan Luhak Nan Tiga, Laras Nan Dua. Dalam buku tersebut Hamka juga menyatakan DR Abdul Karim Amrullah—ayahnya--ketika dekat saat wafatnya mengatakan “ adatlah yang mengorbankan saya”. “Setelah terbuang di hari tuanya selama 3 tahun itulah dunia Indonesia tahu betul siapa dia”, kata Hamka. “sekarang sudah habis masanya duduk mengobrol di pelatar lapau. Sudah habis masanya bernyanyi berpidato mencurai paparkan sitambo lama “, tulis Hamka dalam buku itu.
Penulis mengamini seutuhnya apa yang dikatakan Hamka 53 tahun lalu tersebut. Orang Minangkabau masih sibuk mengulang sejarah masa lalu itu dan lebih ekstrim lagi seolah ingin kembali ke masa lalu dengan mengagungkan surau dan lapau. Sementara itu daerah lain semakin maju dengan pendidikan modern yang jauh lebih lengkap dibanding surau dan berdialektika secara akademis bebas dari cimeeh yang kerap kita temukan di lapau-lapau.
Harus diakui kualitas pendidikan di Jawa jauh meninggalkan kualitas pendidikan Sumatera Barat khususnya apakah itu bidang agama maupun pengetahuan lainnya. Bila pendidikan di ranah masih belum bisa bersaing dengan rantau maka anjuran merantau dari ninik moyang Minangkabau masih sangat relevan. Karena itu marilah merantau, hari sudah tinggi dan mari kita songsong masa depan dengan dada tegak tanpa perlu menakur lagi untuk kembali ke romantika masa lalu.