Mohon tunggu...
Boby Piliang
Boby Piliang Mohon Tunggu... Jurnalis - Asisten Staf Khusus Ketua DPD RI

Asisten Sefdin Saefuddin (Staf Khusus Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Surau, Lapau, dan Rantau

1 Maret 2017   08:01 Diperbarui: 1 Maret 2017   08:30 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan bagus di FB untuk Minang-minang 

by Benni Inayatullah

---------------------------------------------------------------------

Sejarah masa lampau sering diulang-ulang oleh generasi tua kepada generasi muda untuk memberi semangat pada penerusnya. Generasi tua mengingatkan generasi muda bahwa Minangkabau pernah menghasilkan generasi emas yang ditandai dengan munculnya Tan Malaka, Agus Salim, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir dan sederet tokoh lainnya.

Romantika ini tidak hanya sekedar mengulang kejayaan tokoh masa lalu itu tapi juga mencoba mengenalkan kembali faktor-faktor penunjang kehebatan mereka. Lalu muncullah keinginan untuk kembali ke Nagari dan kembali ke Surau. Sebagai bentuk keyakinan bahwa kehebatan tokoh masa lalu itu disebabkan oleh aktivitas di surau sebagai tempat belajar ilmu agama, adanya Lapau sebagai tempat berinteraksi secara sosial serta peran rantau yang membesarkan tokoh-tokoh tersebut

Tulisan ini ingin membahas apakah benar sebegitu tingginya peran Surau dan Lapau dalam menjadikan tokoh Minangkabau masa lalu itu ?

Surau dan Lapau

Kita tidak akan membahas kurikulum Surau serta topik Lapau dalam tulisan ini karena selain memang tidak ada kurikulum Surau yang tersisa saat ini juga karena kita ingin lebih melihat secara obyektif latar belakang tokoh-tokoh yang disebut diatas.

Sejauh mana tokoh terkenal masa lalu itu mendalami pendidikan surau dan bersosialisasi di lapau ? Tan Malaka berasal dari keluarga berada di Pandam Gadang Sumatera Barat. Keluarga mereka memiliki surau tak jauh dari rumah gadang kaumnya. Tentu surau mempengaruhi hidupnya namun umur 11 tahun Tan disekolahkan keluarganya ke Sekolah Raja (kweekschool) di Bukittinggi. Sekitar umur 16 tahun selepas belajar di sekolah raja Tan melanjutkan sekolah ke Rijkskweekschool di Belanda. Sejak itu Tan telah meninggalkan tanah airnya dan berkelana di berbagai belahan dunia. Praktis, kehidupan surau Tan --kalau kita perkirakan akil baligh itu umur 7 tahun—maka Tan hanya belajar di surau selama 4 tahun. Tentu masa sesingkat itu tidak banyak yang bisa dipelajari disana.

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang dan hanya setahun berada di Minangkabau. Ayahnya yang seorang Jaksa membawa keluarga mereka pindah ke Jambi selama 4 tahun lalu pindah lagi ke Medan. Praktis Sutan Syahrir boleh dikatakan tidak mengalami sama sekali budaya surau dan lapau di tanah kelahirannya.

Agus Salim juga merupakan generasi emas yang beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Dalam sejarah hidupnya kita juga tidak mendapatkan cerita apakah beliau sempat menikmati budaya surau dan lapau atau tidak. Namun dari latar belakang pendidikan beliau sama dengan tokoh lainnya lebih banyak pendidikan belanda yang menentukan jalan hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun