Mohon tunggu...
kajitow elkayeni
kajitow elkayeni Mohon Tunggu... penulis -

https://www.facebook.com/kajitow

Selanjutnya

Tutup

Politik

Eko, Pelawak Salah Panggung

18 Desember 2016   12:20 Diperbarui: 20 Desember 2016   14:02 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah sampai kapan Indonesia melahirkan kelucuan. Lucu dalam arti sebenarnya. Seorang awam dan mualaf kemarin sore bisa jadi ulama, sementara ustadz malah sibuk jadi artis. Yang kebetulan artis malah jadi anggota dewan. Sementara anggota dewan mencoba jadi makelar. Muncullah tragedi papa minta saham. Sungguh memalukan.

Artis menjadi pemerintah masih tidak begitu gawat, mereka punya pengawas. Pemerintah agak bodo dibantu staf tetap bisa bekerja. Toh kerjaan mereka masih harus disetujui dewan. Mereka masih terus diawasi gerak-geriknya. Program jangka panjang bisa mencapai umur 30 tahun ke depan. Pemerintahan sebenarnya bisa berjalan autopilot. Hanya soal integritas dan kejujuran saja.

Tapi jika anggota dewannya yang bodo, pengawasnya yang tak kompeten, maka tidak ada lagi yang mengoreksi. Rakyat harus menunggu lima tahun lagi untuk menegur mereka. Itupun dengan cara tidak memilih mereka. Dan selama ada money politic, orang juga tak perduli kerja wakil mereka. Kalau pemerintah korup, masih masuk akal. Meskipun itu tetap jahat. Mereka yang pegang uang, mereka yang menjalankan proyek. Tapi kalau anggota dewan yang korup, alamakjang!

Selain untuk nyocot dan tidur saat sidang, para anggota dewan sebenarnya tak begitu diperlukan. Sistem pemerintahan semakin transparan dan ketat. Sekarang ini yang jadi pengawas Pemerintah justru lembaga hukum, seperti KPK. Wakil rakyat banyak pula yang turut dikandangkan. Sebuah ironi yang getir.

Tapi inilah Indonesia. Pelawak, artis, ustadz, yang sama sekali buta ilmu politik, malah masuk kancah politik. Maka orang-orang yang biasanya manggung di luar itu tanpa sadar manggung di dalam sistem kenegaraan. Untuk urusan nyocot yang gampang saja mereka tak bisa. Anang, Eko, Rachel, adalah contoh, bahwa nyocot politik itu saja perlu otak. Perlu wawasan luas. Perlu membaca banyak buku.

Selain kemarin Anang yang tak ubahnya Vicky Prasetyo, baru saja Eko pelawak itu pamer bodo di depan orang banyak. Melawak tentu baik. Tapi kalau salah tempat ya bermasalah. Contohnya melawak di tempat orang yang baru saja meninggal, bisa?

Dengan enteng Eko menuding kasus penangkapan teroris sebagai upaya pengalihan isu kasus Ahok. Kalau Tito berang itu wajar, dia orang yang sangat berpengalaman dalam soal teroris. Ia paham betul betapa bahayanya manusia-manusia terkutuk itu. Dan buktinya, di antara sekian kasus bom dunia yang terjadi secara serentak, Indonesia berhasil menggagalkannya.

Tito kenyang pengalaman. Dimulai dari Bom Bali, Tito mengungkap pelaku dengan cara luar biasa. Seperti yang terlihat dalam film-film itu. Mereka menggunakan segala cara, terutama pemakaian zat kimia dan teknologi mutakhir. Pertaruhannya juga jelas, nyawa orang banyak atau nyawa petugas. Tapi pengalaman panjang itu dianggap angin oleh Eko.

Padahal persoalan teroris ini bukan perkara main-main. Ini kejahatan luar biasa.

Tuduhan Eko itu terkandung beberapa persoalan serius. Pertama menuduh polisi mendalangi kasus teror.

Anda kalau difitnah maling mangga saja tentu marah. Padahal itu urusan sepele. Hanya soal mangga. Tapi kalau dituduh sebagai otak pembuat teror, ada rentetan serius di belakangnya. Anda dan keluarga anda sudah jelas terancam dikucilkan. Anda sekeluarga dianggap sel kangker yang berbahaya. Bagaimana reaksi anda?

Yang ke dua, berbuntut pada ketidak-percayaan masyarakat terhadap hukum.

Kalau sekelas anggota dewan saja bisa enteng menuduh, apalagi makhluk alay di Facebook. Berhubung Eko termasuk publik figur sekaligus yang mulia anggota dewan, ini bisa jadi preseden buruk. Bisa dibayangkan akibatnya jika manusia-manusia tengik anti hukum dan Pancasila itu ikut enteng menuduh. Tim sorak-sorai teroris itu seperti mendapat teladan untuk memfitnah dan menggembosi Densus88.

Ketiga, terkesan ada permufakatan jahat antara polisi dengan Ahok.

Wibawa polisi, wibawa hukum, selesai di sini. Eko telah gegabah memfitnah permufakatan jahat itu dengan kalimat bodoh yang dianggapnya kritis. Dalam keadaan panas ini, publik semakin meragukan itikad baik Presiden, Polri, dan lembaga hukum terkait kasus Ahok. Padahal dengan susah payah kepercayaan itu hendak dibangun kembali. Tidak ada pembelaan, tidak ada intervensi. Ahok berdiri sendiri di meja hijau itu.

Tapi seorang pelawak salah panggung baru saja memperburuk keadaan. Mungkin ia membayangkan, kalimatnya itu sama dengan lawakan garing yang dulu sering dia bawakan. Atau seringan ucapannya sebagai presenter, "Hai pria single, tunjukkan pesonamu..."

Kajitow Elkayeni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun