“Tapi Mak...” belum selesai aku bicara, Mak sudah
menyelanya dan darimana dia tahu kalau aku akan bertanya
perihal itu?
“Ahhh, sudah-sudah. Kau dasar keras kepala. Tak perlu
kujelaskan lagi alasannya. Pokoknya kalau tidak, ya sudah
tidak!, titik!!!” Tukas Mak Saidah memarahiku.
Kalau sudah ada kata pokoknya, itu adalah kata dimana ucapannya tidak bisa dibantah lagi. Itu adalah percakapan terakhirku dengannya. Nenek yang merawatku sedari lahir hingga usiaku remaja. Banting tulang membiayaiku hingga lulus sarjana. Entah Apak dan Bundaku ke mana saat aku dilahirkan? Jelas yang ku tahu Amakku lah yang jadi garda terdepan soal hidupku.
Mak Saidah orang yang teguh pendirian dan keras. Namun, sebenarnya ia sangat menyangayiku. Sejak Buya meninggal, Amak lah yang mencari nafkah. Ia berpijak di satu kakinya. Maka itulah yang menjadikannya tegar dengar berbagai kerasnya dunia.
Berulang kali kucoba memberi pemahaman kepadanya, hasilnya pun nihil. Akhirnya kuputuskan kembali ke rantau tanpa pamit kepadanya. Walau begitu pernikahanku tetap berlangsung tanpa restu. Aku coba hubungi Amak melalui telepon.
"Amak, mohon restuilah pernikahan kami." Ucapku dengan suara parau memelas agar dapat gayung sambutnya. "Apa? Kau masih saja keras kepala! Kau tak perlu lagi pulang kampuang, bahkan saat aku meninggal pun, kau tak usah datang ke pemakamanku." Ucap Mak Saidah lantang hingga memekakkan telingaku.
"Maafkan aku, Mak Saidah."