"Aku mau ajak kamu pergi ke rumah orang tuaku," jawab Luka singkat.
Luka tidak melanjutkan perkataannya. Padahal Agnes menunggu penjelasannya dan berharap Luka akan mengenalkannya pada orang tua Luka sebagai calon istrinya. Meski selama ini mereka tidak pernah memiliki hubungan apapun kecuali persahabatan.
Hati Agnes mulai meleleh mendengar permintaan Luka. Wajar saja hal itu terjadi, karena selama ini Agneslah yang selalu mengejar Luka disepanjang sejarah pertemanan mereka.
"Aku bahagia deh kalo setiap hari bisa bareng kamu, Luka."
"Maksudnya?"
Mendengar perkataan Agnes yang sedikit berbisik itu Luka segera ingin memperjelasnya. Pasalnya ia tidak mau Agnes berharap lebih padanya lagi.
"Enggak, aku gak bilang apa-apa kok," jawab Agnes dengan sedikit menyesal. Entah setan cinta jenis apa yang membodohinya. Hingga ia mengucapkan kalimat itu di depan Luka.
"Nes, kamu tahu nggak kenapa aku gak pernah ngungkapin cinta ke kamu?"
Agnes terdiam seketika. Hendak menelan ludah pun rasanya susah, nafasnya sesak sekali. Hampir saja ia kehilangan kesadaran karena terkejut dengan pertanyaan Luka.
"Emangnya kenapa?" Agnes menjawab dengan singkat. Ia tidak berani berkata lebih banyak lagi. Ia merasa obrolan itu akan membuatnya terluka. Namun Agnes tetap berusaha mengendalikan sikapnya, agar tidak mempermalukan dirinya di depan Luka. Cukup dengan mengejar cinta Luka saja yang membuat harga dirinya tak ternilai di mata Luka.
"Karena aku nggak mau kamu terluka. Jadi, kupikir lebih baik kita sahabatan begini kan?" Jawaban sekaligus pertanyaan Luka untuk Agnes.
Rasanya Agnes ingin sekali berteriak dan memaki Luka saat itu juga. Hatinya terasa sakit, seperti tersayat belati. Ingin sekali ia tumpahkan air matanya yang sudah tertahan di pelupuk mata sejak beberapa menit sebelumnya.