Semua cat dalam ruangan ini berwarna serba putih. Aku masih merasakan adanha selang oksigen yang terpasang untuk membantu pernafasanku–perban yang melilit kepala, dan juga rasa panas yang menjalar pada kakiku.
"Ma, kakiku?"
Aku menggeleng. Tak kuasa menahan air mata ini, dan akhirnya kubiarkan ia jatuh membasahi pipiku. Aku belum sadar sepenuhnya, akan tetapi aku menyadari bahwa salah satu kakiku telah diamputasi.
"Ini adalah hari ke tujuh, Dira."
Perkataan mama menyadarkanku, bahwa aku mengalami sebuah kecelakaan tujuh hari yang lalu, saat kupu-kupu mengundangku untuk mengejarnya. Ketika rinai hujan kembali datang, dan saat mobil putih itu menabrakku. Semua hal itu telah membuatku kehilangan salah satu kaki ini.
Semua adalah kesalahanku, yang tidak mendengarkan perkataan mama. Namun, tidak seharusnya aku membenci hujan. Meski ayah meninggal saat hujan datang, meski kakiku harus hilang karena kecelakaan yang kualami saat hujan. Hujan tak bersalah. Aku tak pantas membencinya.
"Maafkan Dira, ma!"
Aku menarik tangan mama, mencium punggung tangannya. Dan, membiarkan air mataku jatuh membasahi kain putih penutup kakiku.