Mohon tunggu...
Keza Felice
Keza Felice Mohon Tunggu... Freelancer - Bloger and Content Writer

Content Writer✓Ghost Writer✓SEO Content✓kezafelice.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meyimpan Kenangan dalam Rintik Hujan

24 Oktober 2018   19:06 Diperbarui: 24 Oktober 2018   19:26 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa kalau aku menyukai hujan, Ma?"
Setiap kali aku bertanya tentang hujan, mama tidak pernah menjawab. Aku tidak mengerti ada apa dibalik hujan.

Aku sudah memasuki usia remaja. Seharusnya mama tidak menyembunyikan apapun padaku. Termasuk tentang hujan. Bagiku, hujan adalah anugerah terindah dari Tuhan–air yang langsung turun dari tangan Tuhan. Mengapa air yang begitu indah itu selalu tidak dapat kusentuh? Mengapa mama melarangku untuk menyentuh dan menyukai air hujan?

"Ma, jawab pertanyaanku dong!"
Kembali aku merengek. Namun mama masih saja tidak mau menjawab. Mama lebih sibuk dengan majalah yang berada di hadapannya. Begitulah mamaku, dia tidak pernah mendengarkan apa kataku.

"Mama melarangmu karena mama menyayangimu," jawab mama singkat.
Aku tidak menyangka, kali ini mama menjawabnya. Yah, meski jawabannya masih saja tidak membuat rasa penasaranku ini terobati.

Aku segera meninggalkan mama sendirian. Percuma saja menunggu karena mama tetap akan bungkam tentang hujan yang selalu kupertanyakan.

"Jangan sekali-sekali menyentuh air hujan, Dira!"
Perkataan mama menghentikan langkahku. Aku menoleh, memperhatikan mama yang masih saja serius menatap majalahnya. Aku tidak menjawab juga tidak melawan perkataan mama.

"Oke Ma," Jawabku singkat. Tidak ada gunanya berdebat. Aku hanya ingin tahu, mengapa mama melarangku untuk menyukai hujan, apalagi sampai menyentuhnya.

Waktu terus berganti, dan tidak sekalipun kulewatkan hal berharga yang turun langsung dari Tuhan. Yah, sore ini hujan turun dengan sangat deras, mengguyur kotaku. Aku bahagia bisa melihat hujan dari balik kaca jendela kamar. Tak ada keberanian bagiku untuk mengulurkan tangan keluar dari jendela dan menyentuhnya.

Air hujan ini begitu berharga dan suci, hingga aku dilarang untuk menyentuhnya.

Aku harus berpikir seperti itu setiap kali keinginan untuk menyentuh air hujan begitu kuat. Dengan begitu, aku merasa lebih lega. Meski sebenarnya dalam benakku masih tersimpan banyak sekali pertanyaan.

"Keluarlah! Nikmati saja hujan yang kamu inginkan!"
"Lalu, bagaimana jika mama tau?"
"Tidak akan! kamu pasti akan bahagia. Jangan pikirkan mama yang tidak jelas itu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun