Kupu-kupu itu melintas di atas kepalaku, hingga tak kusadari ternyata kakiku melangkah menjauhi rumah. Aku terhipnotis dengan keindahannya. Juga dengan suasana yang begitu damai setelah hujan reda. Ini adalah yang pertama kalinya dalam hidupku.
Kupu-kupu itu masih mengepakkan sayapnya tanpa lelah. Ia bahkan seperti tidak berniat untuk mengistirahatkan sayapnya walau sejenak saja. Ia terbang begitu dekat denganku, akan tetapi sulit sekali bagiku untuk menyentuhnya. Aku terus berjalan, menikmati sunyinya alam bersama rinai hujan yang kembali turun tanpa kusadari.
"Bangunlah, Dira! Maafkan mama!"
Aku mendengar suara tangisan mama. Aku merasakan sentuhan mama pada lenganku. Namun aku tidak dapat melihat keberadaan mama. Semua terasa gelap. Apakah aku sedang terlelap? Lalu, mengapa mama menangis? Sudah berapa lama aku memejamkan mata, hingga kesedihan begitu tergambar dari suara isak tangis mama.
Tuhan! Berikan aku kesempatan untuk mencium punggung tangan mama yang selama ini belum pernah kulakukan.
Aku memohon pada Tuhan. Berharap keajaiban akan segera datang. Aku ingin keluar dari kegelapan ini, jika memang aku berada dalam ruang gelap. Aku ingin membuka mata, jika memang aku sedang terlelap.
"Mama menyayangimu, Dira. Cukup ayahmu yang meninggalkan kita saat hujan terjadi. Cukup kecelakaan itu yang merenggut nyawa ayahmu, tapi mama harap hal itu tidak terjadi padamu, Nak! Cukup sudah alasan mama untuk membenci hujan."
Aku mendengar dengan samar suara mama.
Benarkah ayah meninggal karena sebuah kecelakaan? Inikah sebab mama melarangku untuk menyukai hujan? Mengapa semua terasa tidak adil bagiku!
"Bangunlah Dira! Bangun!"
Suara mama kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Benarkah aku tertidur cukup lama? Aku ingin segera membuka mata. Mungkinkah aku mampu melewati masa ini?
Hujan, pelangi, kupu-kupu? Apakah aku berada di antara kalian? Ataukah aku tercampakkan. Mobil putih, suara klakson yang memekakkan telingaku, juga teriakan mama di sore itu. Dan, ruang gelap yang saat ini kutempati. Semua bayangan itu datang menusuk memoriku, juga membangunkanku dari tidur lelap ini.
Perlahan, kebuka kedua mataku. Dengan pandangan yang masih buram, aku melihat mama yang sedang terisak di sampingku. Sentuhan tangannya pada jemariku terasa sangat hangat dan lembut.Â