Mohon tunggu...
Amalia Kairani Mardiana
Amalia Kairani Mardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis menemukan makna dan menipiskan luka

Anak muda yang hobinya santai tapi maunya memberikan dampak untuk sesama. Suka hewan berbulu kecuali Anjing dan Burung. Maunya sih produktif tanpa dibatasi, tapi apalah daya setiap manusia diberikan kebebasan yang terbatas. Dalam artian, bebas dalam lingkup yang sewajarnya saja. Masih jadi Mahasiswi di Universitas Negeri Jakarta, Prodi Ilmu Komunikasi. Lebih jauh tentang saya, ada di @kairanidiana

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Sejarah Sultan Hasanuddin

29 Oktober 2020   10:49 Diperbarui: 29 Oktober 2020   11:14 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muhammad Bakir Daeng Mattawang, anaklaki cerdas ini  yang dikenal rakyat sekitar Makassar Daeng Karaeng. Dan kelak terkenal sebagai Sultan Hasanuddin.
Sedari tadi Daeng menunggu ayahnya sedang bersiap-siap di kamar menuju tempat perundingan. Di liriknya sesekali ke arah ayahnya, nampaknya Malikussaid masih mengikatkan tali sepatu sebelah kirinya. Agak gelisah karena sudah terlalu lama, Daeng hendak pergi bersama pattingalongan, namun rupanya gagal karena  kini Ayahnya sudah berdiri di hadapannya lengkap dengan senyum sumringahnya.
"sudah siap anakku?.." sahut ayahnya.
Iya, sudah sangat siap sejak tadi pak" jawab Daeng Karaeng.

"Bagaimana kereta nya sudah dibersihkan belum?... " tanya sang prajurit kepada asisten. "Sudah komandan, semuanya sudah bersih dan siap digunakan" jawab asisten kerajaan kepada sang prajurit dengan memberi setengah hormat kepadanya.

Seperti biasa namanya juga keluarga raja, mau dimanapun ia berada, derap kakinya akan terdengar seribu langkah lebih jauh dari orang biasanya.

Anak dan ayah itu berjajar keluar kamar menuju ruang pertemuan. Didampingi oleh empat orang ajudan dan pengawal istananya, perjalanan Daeng rupanya ditemani dengan  fikiran yang cukup ruwet. Bagaimana tidak?... Masih duduk diatas becak kuda saja nama kompeni sudah nyaring terdengar jelas dari jarak kesekian kilometer. Pasalnya, jelas kompeni dan perkebunan dihubung-hubungkan  oleh para dayang-dayang dan petani cengkih . Sejujurnya, akhir-akhir ini, Daeng juga sering sekali melihat kompeni di perkebunan. Namun rasanya tidak baik jika berburuk sangka tanpa bukti yang nyata,oleh karena itu yang bisa ia lakukan saat
*----*
Sekitar setengah jam duduk di becak, mulai terlihat rupa bangunan lama nan megah itu. Pintu masuknya apik, tidak ada sampah bertebaran. Terlihat sekali meskipun umur bangunan ini cukup tua, namun keaslian dan keasriannya masih terawat.Wajar saja, sering dijaga dan dibersihkan oleh petugas disini. Dengan Cat dinding yang berwarna putih, lengkap dengan aksen corak ular naga menambah kekhasan makkasar yang mempunyai jiwa pemberani dan pantang menyerah. Memasuki ruang utama, mereka sudah dihadapkan dengan 12 kursi yang saling berhadapan dengan satu sisinya berisi 6 kursi. Setengah  tamu undangan sudah ada yang duduk.

Baik, jadi bagaimana laporan pasokan cengkih dan perkebunan kita"?...tanya Salah satu raja dari Banten.

"Sudah membaik, keadaan sepertinya sedang berpihak kepada kita. Sejak hujan kemarin, sungai sungai mengalir deras mengairi sawah dan kebun di sekitar istana." jawab malikussalih.

"Sepertinya kita akan panen besar tahun ini." sahut pattingalongan kepada semua peserta rapat.
"Ya iya... Panen raya" sahut panglima raja.

"Kalau kompeni itu tidak meracuni semuanya rakyat akan Makmur dan sejahtera."jawab penasihat raja.

"Bagaimana menurut mu Daeng?... "tanya pattingalongan kepada Hasanuddin.

" Mungkin mereka bisa berpura pura menutupi raut wajah, yang sebenarnya muram menjadi senyum demi ekspansi dan invasi. Dimana  Jika dihadapkan wajahnya dengan cengkih dan teh pasti akan berseri seri kembali. " sahut perdana menteri kerajaan.

" Benar..." Sahut para raja serempak.
Sepertinya mereka semua setuju dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Daeng.

"Mereka sepertinya menyusun strategi seperti di Banten. Kita tak boleh lengah. Rakyat perlu disadari agar tak lagi dibohongi. Berapa banyak kerugian yang mereka habiskan".  Sahut sang panglima perang .

"Daeng, sepertinya ilmu yang kau serap terlalu banyak, akan lebih bermanfaat jika kau bantu kami mengirimkan surat kepada kompeni itu, kita undang mereka  makan besar sekaligus silaturrahim. Bagaimana Daeng?... "tanya pattingalongan.

" Boleh paman" jawab Daeng disertai dengan anggukan.

 "Mungkin  satu atau dua diantaranya mengerti, jika lah menginginkan cengkih, maka bisa kita kerjasama akan lahan atau bibit yang hendak dipanen Agar tak ada lagi rasa iri dan suudzhon yang melebihi" Sahut pattingalongan.

**

Hai temen-temen kompas!!!...
Sudah lama ya kita tidak bersua lagi di kolom Comment...
Saya rindu dengan riuhnya kolom comment yang selalu mengatakan "salam saya...". Khas nya kompas banget, orang-orang nya ramah, kalau mengkritisi pake salam dulu. Tak ayal klo budaya indonesia kental banget disini.
Mohon kritik dan sarannya, karena kritik dari temen-temen semua, membantu saya untuk terus mengembangkan tulisan ini menjadi lebih baik lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun