Berabad-abad, pertanyaan untuk apa manusia dan keberadaannya menjadi suatu hal yang penting. Selama usia hidup manusia, akan muncul fase di mana manusia bertanya mengenai apa tujuan keberadaannya. Artikel ini ditulis bukan untuk menjawab hal tersebut, jelas perbedaan individu akan memiliki jawaban yang berbeda pula. Artikel ini anggaplah sebagai obor di tengah jalan gelap yang sedikit membantu jalan kalian yang membaca.
Perlu disebutkan bahwa rumusan tujuan manusia sudah banyak tercatat secara umum, filsuf idealis Plato menyebutkan bahwa tujuan manusia ada adalah untuk menjadi ideal/sempurna, dicapai dengan pengetahuan yang nantinya selaras dengan etika. Filsuf lainnya menyebutkan tujuan manusia adalah berpikir, karenanya manusia itu ada, filsuf lainnya menyebutkan dengan mencinta, maka kita ada. Dari sisi agama, manusia ada untuk beribadah, menyembah Yang Maha Kuasa. Semua menjelaskan secara umum, namun cara spesifiknya, kita yang harus cari sendiri.
Pertanyaan ini menjadi dicari-cari terus menerus, karena selarasnya antara keberadaan manusia dan tujuannya, Heidegger misalnya, menganggap manusia masih objek jika dia belum mengalami "kejatuhan" atau kesadaran akan "tujuannya", dan pula tujuan ini bukan berasa dari luar diri, namun dibentuk dalam diri sendiri, seperti ungkapan Sartre,
"eksistensi mendahului esensi"
Manusia pada keharusannya mulai merumuskan tujuan keberadaannya, tidak terikat hal-hal pada luar dirinya. Tidak valid rasanya kehidupan kalian digantungkan pada ekspektasi siapapun, bahkan orang terkasih, carilah tujuan keberadaan kalian, dari dalam diri kalian, apapun itu tujuannya. Karena tujuan kalian berada, lebih besar dari apa yang dianggap oleh siapapun yang mengada-ngada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H