Desentralisasi sebagai ciri khas perubahan besar-besaran sistem pemerintahan pasca jatuhnya rezim otoritarianisme 32 Tahun orde baru, membawa arah perubahan terhadap pola pembanguan pemerintahan daerah. Reformasi, datang menyalakan harapan. Salah satunya daerah kabupaten/kota dimampukan untuk melakukan pembangunan dengan berbagai kewenangan yang dimilikinya. Nampak ada keinginan pemerintah pusat untuk memberikan ruang partispasi pembangunan secara bermartabat bagi pemerintahan daerah secara otonom.
Arah politik hukum, nampak melihat daerah lebih paham dan lebih dekat dengan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Pasca reformasi muncullah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang kemudian terlalu dianggap liberal dalam ruang otonomi daerah, hingga di Undangkanlah Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai jembatan desentralisasi yang tidak terlalu liberal. Kehadiran Undang-Undang tersebut menjadi asa tersendiri bagi Pemerintahan daerah untuk mengelola daerahnya dengan dukungan dari pemerintah pusat.
Desentralisasi mendatangkan aroma wangi demokrasi, teori kedaulatan rakyat yang di bentangkan oleh J.J Rousseau bergerak secara beradab mendekati rakyat. Tetapi 10 Tahun berlalu angin politik berhembus kearah lain, tarik menarik kepentingan dan lemahnya membaca problem evektifas hukum dalam ruang sosiologis, menyebabkan kewenagan pemerintah daerah kabuapten kota ditarik ke Provinsi. Perubahan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No 23 Tahun 2014 menandai babak baru otonomi daerah. Desentralisasi nampak dilemahkan dan sentralisasi mengalami penguatan.
Konfigurasi politik, memang melahirkan tarik menarik kepentingan dalam menciptakan produk Undang-Undang, belum cukup setahun setelah Undang-Undang No 23 tahun 2014 di Undangkan, muncullah Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015
Perubahan tersebut tentu menjauh dari cita konstitusi sosial, bahwa Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang”. Dalam pasal tersebut tegas bahwa hadirnya Undang-Undang adalah hasil terjemahan dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan itu sendiri dipahami ketika masyrakat telah memilih kepada daerah secara langsung, maka secara otomatis melekatlah kewenagan itu untuk mengelola daerahnya secara otonom.
Nampaknya penarikan kewenagan tersebut, disebabkan karena dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun pasca dikembalikannya pemilihan kepala daerah secara demokratis kepada rakyat secara langsung, dan dihapusnya tugas dan kewenang DPRD untuk memilih bupati/walikota, kewenangan-kewenangan dalam ruang kedaulatan rakyat justru tidak seturut dikembalikan pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Problem pembacaan demokrasi begitu sangat prosedural. Demokrasi sebatas dipahami pemilihan langsung oleh rakyat , mendudukkan seorang menjadi kepala daerah dan melupakan bahwa demokrasi yang berciri desentralisasi harus menghadirkan kewenangan pada pemerintah daerah. Disitulah subtansi memilih secara langsung sebab ada kewenangan yang diharapkan mampu mendatangkan angin perubahan bagi masyarakat.
Permasalahannya, politik melakukan determinasi kuat terhadap hukum, karena itu pula kegiatan legislasi DPR kerap dianggap Satjipto Rahrdjo sebagai kegiatan berpolitik dari pada kegiatan berhukum. Meskipun Perubahan tersebut tak bisa dipungkiri memliki latar belakang sosiologis, bahwa keberadaan otonomi daerah dianggap memiliki pengaruh besar terhadap munculnya raja-raja kecil di seantereo pemerintahan daerah di Indonesia.
Jika penarikan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota karena pembacaan tersebut,sungguh sangat naif sebab beranak pinaknya raja-raja kecil yang melakukan korupsi di berbagai daerah disebabkan lemahnya penegakan hukum, dan pembangunan moralitas berpolitik serta penguatan paradigma tujuan desentralisasi, sebagai upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Penegakan hukum yang efektiv serta penyadaran secara moral akan menciptakan budaya birokrasi yang patuh terhadap undang-undang. Artinya penarikan kewenagan tersebut sungguh jauh dari kerangka teori demokrasi. Dan justru menunjukkan bahwa penegakan hukum tak mampu menciptakan determinasi untuk menciptakan budaya birokrasi pemerintahan yang beradab.
Selain hal tersebut Munculnya raja-raja kecil dan fenomena tidak efektifnya kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan semangat desentralisasi, disebabkan karena kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah kabupaten/kota, kerap masuk dalam perebutan ruang sumber daya alam secara politis, dan bukan upaya memartabatkan rakyat sebagai tujuan munculnya sebuah kewenangan. Kenyataannya kewenangan yang diamanahkan oleh Undang-Undang justru dikuasai oleh investor atau segelintir orang. Padahal bentangan desentralisasi bukan semata melekatnya keweangan pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Tetapi adalah bagaimana kewenagnan tersebut hadir menjembatanai dan mendistribusikan kedaulatan rakayat dengan metode pembangunan partisipatif sebagai basis legitimasi cara berdemokrasi yang memartabatkan kehadiran rakyat dalam pembangunan.
Penarikan hampir seluruh kewenangan pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke Provinsi membuat beragam pertanyaan benarkah kita masih mengadopsi semangat desentralisasi, ataukan sistem pemerintahan sedang bergerak kearah sistem pemerintahan yang sentralistik. Padahal Menurut Hogerwaff desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan publik yang lebih tinggi ke badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri berdasarkan kepentingan sendiri (daerah) untuk mengambil keputusan dibidang pengaturan dan dibidang pemerintahan.