Usianya baru menginjak 6 tahun, pada bulan ini. Menurut studi psikologis, anak pada usia ini, 6 tahun, mengalami perkembangan kognitif yang signifikan: ia akan banyak bertanya tentang suatu hal yang ia anggap unik. Dan, hal itu betul aku alami.
Suatu malam, menjelang tidur, seperti biasa, anakku minta dipijitin. Saat matanya sudah mulai sayu, ia tiba-tiba bertanya, "Kalau aku gede, berarti (nanti) Allah itu (semakin) kecil, Pak?"
"Kok, bisa?" tanyaku.
"Iya, soalnya aku yang segini aja, Allah tak terlihat, apalagi nanti aku semakin gede?"
Aku diam.
Kemudian, ia bertanya lagi, "Allah itu di mana, tho? Di atas sana, ya?"
Aku hanya menjawab, "Hmmm....."
Itu bukan jawaban mengiyakan atau menafikan, melainkan aku sendiri bingung menjelaskan di mana Tuhan itu berada dengan bahasa yang sesuai dengan usia anak 6 tahun. Pertanyaannya polos, tetapi untuk jawabannya juga menyusahkan. Susah memberi pengertian yang bisa dicerna oleh alam pikirannya.
Pertanyaan malam itu benar-benar mengganggu pikiranku. Ia tidak menanyakan tentang eksistensi Tuhan, tetapi wujud dan keberadaan Tuhan. Dua masalah yang di dalam agama, mungkin, sakral untuk dijlentrehkan. Bahkan, agama sudah memasang garis "jangan menanyakan Zat Tuhan, tetapi memikirkan ciptaan-ciptaan Tuhan". Ini bukan garis "melarang", tetapi lebih mirip "peringatan" bahwa pikiran atau alat indra tidak akan mampu menangkap Zat Tuhan tersebut. Laisa kamitslihi sya'iun, tan kinoyo opo.
Celakanya, anakku menggambarkan keberadaan Tuhan sama halnya dengan hal-hal yang kasatmata. Misalnya, mainannya yang memiliki ukuran dan menempati ruang. Sehingga, ia perlu tahu di mana Tuhan berada, dan seberapa besar Dia.
Pertanyaan-pertanyaan nyleneh seperti yang disampaikan oleh anakku, sebetulnya, sudah aku duga sejak masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, aku dan teman-teman sejurusan, mendapat matakuliah "Islam dan Sains", studi yang membahas seputar masalah hubungan (agama) Islam dan perkembangan sains. Saat itu, aku menanyakan pada forum kelas, "Bagaimana memberikan penjelasan kepada anak TPA (taman pendidikan al-Quran) mengenai turunnya hujan?"
Maksudnya begini, ketika belajar agama, anak-anak diperkenalkan bahwa Allah memerintahkan kepada malaikat-Nya untuk mengatur hujan. Sementara, di matapelajaran IPA, hujan berkaitan dengan proses penguapan air laut dan pergerakan angin. Nah, bagaimana mencari titik temu keduanya? Apakah kita akan memberikan jawaban sesuai tempatnya, jika anak berada di tempat ngaji, ya, kita berikan jawaban menurut kacamata agama. Jika disampaikan di sekolah, dijawab secara sains? Lha, pertanyaannya lagi, jika pertanyaan itu diberikan di tempat tidur?
Sekelas hening, dosen juga diam. Hingga kini aku belum menemukan jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan "nakal" itu, mau-tidak mau, pasti akan berseliweran di kepala anak-anak. Kita tidak bisa melarangnya. Siapa yang mampu mencegah, menghapus imajinasi, dalam dunia pikiran? Saya kira tidak ada. Itulah alasannya, ide tidak bisa dibunuh.
Untuk menjawab pertanyaan anakku itu, aku mencoba berselancar di dunia maya. Memasukkan kata kunci di Mbah Google, barangkali ada situs yang bisa menjawabnya.
Menurut Ustad Ahwat Sarwat, seperti yang ditampilkan di situs replubika.co.id, bahwa Tuhan berada di atas 'Arsy. Jawaban ini seperti yang tertera di dalam al-Quran, surat Thahaa, 5. Juga terdapat pada surat al-A'raf ayat 54. Jadi, menurut beliau, kita bisa memberikan jawaban yang mudah dan singkat kepada anak-anak bahwa Tuhan itu berada di atas 'Arsy. Sementara itu, 'Arsy merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengukur seberapa besarnya.
Demikian mudahkah jawabannya? Entahlah. Aku masih ragu untuk memberikan jawaban seperti itu kepada anakku. Jangan-jangan ia akan menanyakan lagi, berarti Tuhan itu jauh? Lalu, kenapa Dia bisa mendengar doa-doa yang lirih? Belum lagi, apakah jawaban itu akan membentuk imajinasi tentang Tuhan di alam pikirannya? Bukankah Tuhan tidak bisa dicitrakan, digambarkan? Pertanyaan terakhir ini pun tidak bisa disangkal bahwa pasti ada imajinasi mengenai diri Tuhan pada pikiran seseorang, entah bagaimana ia mencitrakannya.
Sewaktu kecil, pikiranku mengimajinasikan Tuhan mirip orang tua berjubah putih, bisa terbang, dan punya kekuatan super. Gambaran ini barangkali mirip dengan pencitraan yang ada pada cerpennya Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung.
Nyatanya, di dalam agama, penggambaran mengenai Tuhan tidak diperbolehkan. Â Sebab, ia Dia tidak sama dengan makhluk, semua ciptaan-Nya.
Jawaban yang diberikan Ustad Ahwat Sarwat tersebut juga ingin menyangkal jawaban "Tuhan ada di diri kita", "Tuhan ada di mana-mana. Sebab, menurut beliau jawaban itu hanyalah gosip. Tuhan ada di diri kita, konon, datang dari kepercayaan yang menyimpang, datang dari pemikiran kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Tuhan dengan manusia). Tuhan ada di mana-mana pun tak lain datang dari pandangan kaum Jahmiyyah (paham yang menghilangkan sifat-sifat Allah). Bukankah jawaban beliau itu nanti juga mendatangkan imajinasi bahwa Tuhan seperti halnya makhluk yang menempati suatu ruang? Jika menempati ruang, bukankah Tuhan lebih kecil dibandingkan dengan ruang itu sendiri?
Apa tafsir kedua ayat pada dua surat tersebut?
Ayat lima dalam surat Thaha termasuk ayat mutasyabihat, yakni ayat yang dari segi bahasa memiliki lebih dari satu makna. Sementara, kata istiwa dalam bahasa Arab bisa memiliki bermacam-macam makna: duduk, bersemayam, masak/matang, sempurna, berlabuh, lurus, tegak, menguasai. Menurut Imam Malik, Allah istiwa sebagaimana menyifati diri-Nya, dan tidak dikatakan "bagaimana", kaif (sifat makhluk) itu mustahil bagi Allah. Jadi, mudahnya, Allah istiwa di 'Arsy itu bermakna bahwa Allah berkuasa atas segala kekuasaan yang ada di dalam semesta dan seisinya. Bagaimana jika dimaknai dengan "duduk/bersemayam" di atas 'Arsy? Bolehkah?
Sekiranya aku belum menemukan jawaban yang tepat. Selayaknya, aku harus belajar lagi untuk mengenal tentang Tuhan, kemudian memperkenalkan pada anakku. Pertanyaannya aku simpan. Untuk jawabannya, jujur saja, aku harus membaca banyak referensi lagi. Entah sampai kapan jawaban itu akan kuberikan, atau barangkali ia akan menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, seiring perjalanan hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H