Keadaan ini sangat fatal menurutku. Karena kita perlu sedikit meraba permukaan tanah yang kita tidak bisa melihatnya. Karena harus meraba terlebih dahulu kami jadi lebih sedikit lelah dari biasanya. Pendakian terasa tenang dan damai ketika kami bisa melihat cahaya malam lampu-lampu kota. Kami mendaki dengan tertawa dan bercanda sampai kemudian di pos ketiga tubuhku tak henti-hentinya terengah-engah dan pandanganku mulai kunang-kunang. Bahasa halusnya mungkin sudah tidak kuat.
Karena jalur Perantunan di lewati satu pondok membuat jalur tersebut ramai dan terdesak. Karena saya merasa melambatkan perjalanan saya menyuruh kelompok saya untuk naikterlebih dahulu. Biar nanti saya bersama adek kelas naiknya. Saat berjalan pelan sendiri ada sekelompok adek kelas menyusul saya dengan cepat, sembari mengatakan "Duluan ya Kak Kagan." Sambil tersenyum ramah. Meskipun saya tau dalam hati mereka mungkin, "Yaa masak kakak kelas gak kuat." Perasaan saya saja mungkin.
Dari kelompok yang pertama berangkat, saya sampai puncak Gunung Ungaran bersama kelompok yang terakhir. Saat di puncak tentu saja, kami melihat sunrise yang indah, bersama pemandangan kota Ungaran yang memukau. Karena kami anak pondok, kami hanya berfoto sedikit saja karena kamera hanya satu dan yang mendaki adalah satu pondok.
Saat kembali, kami merapikan barang-barang dan mulai kembali ke kehidupan pondok yang seperti biasanya. Refreshing di Gunung Ungaran membantu kami kami bahwa dunia ini masih luas. Tidak hanya kehidupan pondok yang selalu monoton.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI