Mohon tunggu...
Kafu Rochman
Kafu Rochman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Penulis tertarik mengenai isu-isu hukum. Ini merupakan pengalan pertama bagi penulis dalam dunia kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kawin Sirih: Kedudukan Istri dan Anak

2 April 2023   13:28 Diperbarui: 2 April 2023   21:37 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aturan perkawinan lebih lanjut sudah ada tertulis di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, namun aturan tersebut tidak mengatur mengenai perkawinan sirih. Satu hal yang pasti, terjadinya perkawinan memunculkan akibat hukum. Dalam kasus kawin sirih, hukum positif Indonesia tidak mengatur dan tidak mengakui secara sah. Kawin sirih terjadi bukan tanpa alasan. Terjadinya kawin sirih dipengaruhi oleh beberapa sebab, diantaranya menghindari zina, sulitnya mendapat restu dari orang tua, dan hamil di luar nikah.

Tidak dicatatkannya pernikahan tidak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum dan tidak memiliki akibat hukum yang pasti. Jika dilihat dari prespektif agama memang, kawin sirih diakui (sah karena telah memenuhi unsur-usur rukun dan syarat perkawinan dalam agama islam), namun timbul persoalan apabila pernikahan tersebut tidak dicatatkan. Maka dalam prespektif hukum positif Indonesia seorang istri mendapat status sebagai istri tidak sah, dan istri beserta anaknya tidak mendapatkan hak atas nafkah dan harta peninggalan dari suami jika suaminya menceraikannya, sebab secara hukum, pernikahan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. 

Tidak adanya akta nikah dari kedua orang tua tidak dapat pula mendapatkan akta kelahiran untuk sang anak. Maka timbulah isu hukum mengenai kedudukan status istri dan anak tersebut. Apakah istri dan anak tersebut memiliki status hukum?

Perkawinan adalah pertalian antara laki-laki dengan wanita secara sah. Perkawinan ialah pertalian lahir batin antara  laki-laki dengan wanita sebagai suami dan istri dimana suami dan istri tersebut menginginkan keluarga yang bahagia dan kekal berlandaskan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan dinyatakan sah andaikata itu dicatatkan dan dilangsungkan menurut hukum agamanya. Syarat yang harus terpenuhi jika melakukan perkawinan antara lain :

  1. Harus dilandaskan atas kesepakatan dari kedua calon mempelai;
  2. Berusia 19 (sembilan belas tahun) bagi kedua calon mempelai;
  3. Wajib mendapatkan izin dari kedua orang tua atau wali apabila belum berusia 21 (dua puluh satu tahun);
  4. Andaikan salah seorang atau keduanya di bawah usia 19 tahun boleh mengajukan dispensasi kawin ke pengadilan disertai alasan dan didukung dengan bukti yang cukup;
  5. Bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah.

Perkawinan dilarang bagi pihak yang :

  • segaris keturunan ke bawah, ke atas, dan menyamping;
  • pertalian keluarga yang semenda dan sepersusuan;
  • peraturan lain yang mengatur hubungan larangan kawin oleh agama

Jika menyoal sahnya pernikahan, ada dua aspek  yang harus dipenuhi. Aspek agama dan aspek negara (secara hukum). Dinyatakan menurut pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, dianggap absah perkawinannya jika sesuai dengan hukum agama atau kepercayannya (aspek agama), dan harus dicatatkan setiap perkawinan (aspek hukum). Dikuatkan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Dikatakan perkawinan itu sah jika sesuai dengan aturan yang ditentukam agama islam dan setiap perkawinan harus didaftarkan untuk mendapatkan kepastian hukum.

Dari sini tidak disebutkan bahwasannya apabila perkawinan tersebut dilakukan secara agama maka dinyatakan tidak sah. Meskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan tetap dianggap sah secara agama, namun yang harus diperhatikan pencatatan perkawinan ialah semata-mata untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari segi aspek hukum. Pencatatan ini diperlukan untuk mendapatkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa pernikahan tersebut ada dan pernah dilakukan. Hadirnya akta perkawinan sangat  penting bagi kedudukan seorang istri dimata hukum.

Kedudukan istri kawin sirih

Akibat hukum yang diperoleh bagi istri yang dinikahi secara sirih adalah dianggap sebagai istri tidak sah secara hukum. Istri tidak mempunyai hak nafkah dari suaminya apabila jika terjadi perceraian. Jika mengajukan gugatan maka akan sulit karena dari awal pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada. 

Maka untuk melindungi istri dari ketidakpastian hukum, disarankan untuk mengajukan isbat nikah (pengesahan nikah) ke pengadilan agama agar mendapatkan perlindungan hukum. Dengan demikian, kawin sirih dinyatakan sah secara agama namun oleh negara tidak diakui sebab tidak dicatatkan pernikahannya, akibatnya seorang istri dianggap sebagai istri tidak sah secara hukum. 

Kedudukan Anak dalam perkawinan sirih

Setiap kelahiran akan dicatatkan begitu juga dengan setiap kematian. Berbicara mengenai kelahiran, lahirnya seorang anak akan menimbulkan akibat hukum terkait status hukum anak tersebut. Maka diperlukan sebuah bukti otentik untuk mendapatkan kejelasan status anak tersebut dimata hukum. Hadirnya akta kelahiran sebagai bukti otentik diperlukan untuk mendapatkan status hukum dan perlindungan hukum serta telah membuktikan  anak tersebut ialah anak hasil dari perkawinan sah. 

Anak sah adalah anak yang lahir dari pernikahan sah yang dilakukan oleh ayah dengan ibu yang melahirkannya. Didalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menggolongkan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak lahir diluar perkawinan. Anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja bagi yang lahir diluar perkawinan. Kedudukan anak tersebut hanya sebatas hubungan perdata (dengan ibunya) sementara hubungan dengan ayah biologisnya tidak mempunyai hubungan yang terikat secara hukum karena anak tersebut tidak memiliki akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan suatu identias dan status kewarganegaraan harus didapatkan setiap anak. Tidak dicatatkannya seorang anak karena lahir dari perkawinan tidak sah akan menambah kesengsaraan bagi seorang istri maupun anak. Negara yang ingin memberikan perlindungan hukum bagi anak tersebut jadi terhambat karena anak tersebut tidak memiliki akta kelahiran sebab tidak adanya status hukum yang mengikatnya. 

Apabila terjadi perceraian maka suami tidak ada kewajiban untuk menafkahi istri beserta anaknya, hal ini yang menjadi kerugian besar bagi istri maupun anak. Jika ingin menggugat maka tampaknya akan sulit karena dari awal pernikahan mereka tidak dicatatkan apalagi dengan lahirnya seorang anak maka anak tersebut yang tidak memiliki status hukum akan sulit mendapatkan hak-haknya dari sang ayah. 

Tetapi menyoal hubungan anak di luar nikah, apakah hanya memiliki hubungan keperdataan saja dengan ibunya. Hubungan ayah dengan anak harus dilihat dari  hubungan darah (biologis) dengan anaknya bukan melihat  status sah tidaknya pernikahan kedua orang tuanya. Pemberian hubungan perdata dengan ibunya tampaknya bertentangan dengan UUD NRI 1945 pasal 28B ayat (2) dan pasal 28D (1) yang berbunyi:

"Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi" (Pasal 28B ayat (2))

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum" (Pasal 28D ayat (1))

Setiap anak  yang telah  dilahirkan layak sebagai semestinya untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya dan mendapatkan kehidupan yang layak sebagai anak dan warga negara Indonesia. Hal tersebut telah dijamin oleh konstitusi kita.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010) menyatakan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal  43 ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, tidak hanya seorang ibu dan keluarganya yang terikat hubungan perdata tetapi juga ayah dan keluarganya juga memiliki hubungan yang sama selama anak tersebut terbukti memiliki hubungan biologis dengan anaknya. Akibat dari putusan tersebut, dapat dicermati bahwa anak tidak sah tetap mendapatkan harta waris dari ayah biologisnya, sepanjang anak tersebut diakui.

Dengan berlakunya putusan tersebut maka, anak tersebut dapat mengajukan permohonan pengakuan anak kepada Pengadilan Agama dengan mengajukan pengakuan secara tertulis bahwa ayahnya memiliki hubungan biologis dengannya dan disertai bukti pendukung. Tentunya jika ingin mendapatkan akta kelahiran untuk anaknya maka, diperlukan akta nikah dari kedua orang tuanya. Jika belum mempunyai  akta nikah  maka perlu mengajukan isbat nikah (pengesahan perkawinan) ke pengadilan agama agar mendapatkan akta nikah.

Perkawinan sirih hanya akan merugikan bagi istri karena tidak diakuinya oleh  negara, bahkan sulit untuk menggugat ke pengadilan karena tidak adanya bukti yang otentik. Namun, yang perlu diingat lagi tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa andaikan perkawinan tersebut tidak didaftarkan maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Pencatatan perkawinan bukan faktor sahnya perkawinan. Jika perkawinan tersebut dilakukan secara agama namun tidak dicatatkan tetap sah perkawinannya tapi tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pasti. Hal itu akan merugikan bagi pihak istri dan anak untuk memperoleh kepastian hukum ke depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun