Hawa panas terik membersamai cuaca siang 9 Maret 2018 kala itu. Seusai kondangan dari pasutri baru yang keduanya merupakan teman sewaktu SMA, saya pergi ke tempat ngetem bus arah bojonegoro. Waktu menunjukkan sudah melewati jam satu siang lebih. Sesekali hujan turun, menyirami panas aspal yang mengepul bersama asap knalpot kendaraan umum.
Bus Dali Jaya menjadi moda trasportasi pertama saya menuju Majelis Masyarakat Maiyah Mocopat Syafa'at kali ini. Perjalanan menuju Mocopat syafa'at kali ini terasa sangat berbeda dari perjalanan saya yang pertama ke majelis tersebut. Pada kesempatan yang pertama, tepatnya 17 Juni tahun lalu saya berangkat menuju Yogya menaiki kereta api dengan keberangkatan dari Mojokerto. Kali ini saya mencoba transpotasi lain, yakni Bus. Disamping cuaca yang masih hujan, saya juga mepertimbangkan waktu istirahat sebelum akhirnya memilih menggunakan bus, daripada bersepeda motor.
Tepat jam tiga sore saya sampai di terminal Bojonegoro. Setelah itu oper bus Gunung Harta menuju terminal Ngawi, dan terakhir oper Bus menuju terminal Giwangan, Yogyakarta. Jadi, total saya menaiki 3 bus untuk sampai di Yogyakarta, ini menambah wawasan saya terkait transportasi dari lamongan menuju Yogya via bus. Saya tiba di Giwangan sekitar pukul 22.00 WIB. Terlambat 2 jam dari jadwal maiyahan Mocopat Syafa'at yang dimulai pukul 20.00 WIB.
Karena sudah jarang transportasi yang beroperasi untuk menuju wilayah Tamantirta, Bantul, akhirnya saya memilih ojek agar tidak ribet dan cepat sampai menuju lokasi acara. Dah akhirnya saya sampai dilokasi tepat pukul setengah sebelas malam, dengan jama'ah yang sudah memadati ruas jalan sambil menyimak layar lebar proyektor yang disediakan penggiat Mocopat syafa'at di desa jetis disekitaran TKIT Alhamdulillah, Tamantirta, Bantul.
Menjadi berbeda dari perjalanan saya yang pertama, karena waktu itu, kita berangkat sudah janjian bersama enam kawan yang lain yang sudah direncanakan sebelumnya. Kita janjian berangkat bareng, enam kawan saya tadi naik bus karena berangkat sejak pagi hari, saya berangkat sendiri karena harus bekerja terlebih dahulu dan kemudian menyusul nantinya naik kereta api. Kala itu, saya sedikit usil dengan berbohong kepada kawan seperjalanan tidak jadi berangkat, dikarenakan ada sesuatu yang mendadak, padahal saya tetap berangkat.
Saya pun berniat tidak menghubungi mereka sampai nanti kalau sudah sampai di lokasi acara. Sampai jam 5 sore di stasiun Lempuyangan kala itu. Setelah sholat ashar saya putuskan untuk berjalan menuju jl. Malioboro sekaligus mencari takjil untuk berbuka, kebetulan waktu itu tepat pada bulan Ramadlan, jadi sebagai umat muslim, saya diwajibkan puasa. Meskipun masih buta arah menuju lokasi, saya bertekad untuk mengasah kemandirian serta lebih peka menangkap keajaiban-keajaiban dariNya. Saya selalu percaya, bahwa tuhan selalu menyediakan keajaiban-keajaiban di setiap perjalanan.
Keajaiban atau pinjam bahasa Al-Qur'an Min Haitsu la yahtasib, ddari arah yang tidak disangka-sangka mulai terkuak. Terawal dari berbuka di warung angkringan di sebelah alun-alun Yogya, saya bertemu dengan Mas Majid. Mas Majid ini seorang lelaki paruh baya asli Dukun, Gresik, yang sudah lama berdomisili di Yogyakarta, tepatnya di Bantul. Sekitar delapan tahun Mas Majid merantau di Yogya, sampai akhirnya menemukan tambatan hatinya juga disini.
Setelah mengobrol kesana kemari dan selesai menikmati sajian angkringan yang cukup lezat, Mas Majid menawarkan diri untuk mengantar saya sampai titik terdekat menuju lokasi. Kebetulan masih satu arah pulang dengan beliau. Dengan sepeda CB nya saya kemudian diantarkan sampai perempatan PT Kimia Farma, karena harus berbeda arah saya memilih untuk turun di situ.
Saya melanjutkan menyusuri ringroad selatan Yogya dengan langkah demi langkah sampai akhirnya waktu masuk isya', saya sampai di seberang masjid yang cukup bagus, sebuah miniatur masjid Abdur Rahman Saleh Aceh. Karena kaki sudah cukup lelah karena hampir dua kilometer saya ajak melangkah sejak turun di perempatan tadi, saya putuskan istirahat sebentar, sekalian sholat isya'.
Usai cukup istirahat, saya kembali menyebrang jalan untuk melanjutkan perjalanan. Di seberang jalan saya di stop kakek-kakek dan ditanya tujuannya, tanpa pikir lama, kakek ini menyuruh saya untuk menunggu untuk dicarikannya ojek. Tanpa menolak, saya pun mengikuti kemauannya. Hampir 15 menit kakek menawarkan orang untuk mengantarkan saya. Setelah dapat ojek, dan menyepakati tarifnya saya pun bergegas menuju lokasi Mocopat Syafa'at dan berterima kasih kepada kakek yang saya lupa tanya namanya. Menurut saya, ini adalah keajaiban selanjutnya dariNya.
Sampai di lokasi pukul 19.30 WIB, suasana masih cukup sepi, meskipun ada beberapa jama'ah yang sudah menempati lokasi maiyahan. Setelah bertemu keenam kawan yang berangkat terlebih dahulu dari Surabaya. Kita mengikuti dan menyimak maiyahan dengan cukup tenang dan damai. Mocopat Syafa'at kala itu dihadiri oleh ibu Novia kolopaking, Pak Iyas yang merupakan anggota DPR asal Jombang, dan juga Gubernur Nusa Tenggara Barat, Dr. Zainul Majdi, atau yang lebih populer disebut Tuan Guru Bajang beserta rombongannya.
Ada tiga perihal yang saya garis bawahi terkait malam itu. Pertama respon Tuan Guru Bajang yang mengatakan bahwa Cak Nun adalah ahli thoriqoh,hal ini disampaikannya setelah Cak Nun membawakan nomor takbir akbar Yaa Huu. Tuan Guru juga menjelaskan bahwa puncak tauhid yaitu Huu, Huu adalah Dia yang maha segalanya.
Selain itu, Putra pendiri Nadhatul Wathan ini juga diminta membawakan lagu oleh Cak Nun yang kemudian diiringi Kiai Kanjeng. Kedua, penuturan Pak Iyas mengenai korupsi E-KTP yang waktu itu belum diumumkan nama tersangkanya, tetapi di dalam forum tersebut sudah menyinggung yang bersangkutan (calon tersangka).
Alhasil tepat satu bulan kemudian, orang itu resmi dijadikan tersangka korupsi mega proyek E-KTP. Ketiga Lagu Padhang Mbulan yang dibawakan oleh Ibu Via, yang saya sukai lirik akhirnya. Sesudah Senja, Diujung Duka,Nikmatilah,Mengalirnya Cahaya begitu mesranya masuk dalam sanubari jiwa.
Kembali menuju mocopat syafa’at yang kali kedua . Kali ini saya berangkat sendiri. Tidak ada kejutan maupun keajaiban yang terasa agak isimewa dalam perjalanan berangkat pada kala itu. Tema malam itu adalah “Tauhid Penghidupan”. Kalimat pertama yang saya garis bawahi dari Mbah Nun adalah ‘kita harus me-ma’rifat-i segala sesuatu, artinya kita harus melihat dan lebih keras daLam usaha memahami sesuatu dari pagkal sampai ujungnya’. Memasuki tema Mbah Nun menjabarkan bahwa penghidupan yaitu usaha kita untuk merawat kehidupan.
Slain itu, Mbah Nun juga mengajak jama’ah untuk mundur satu langkah dalam berindak, bermuhasabah kembali atas segala tindakannya agar kedepannya langkah kita lebih komprehensif, lebih presisi, lebih adil terhadap segala laku hidup.
Di Mocopat Syafa’at kali ini juga hadir Pak Tanto Mendut, Kyai Muzzammil, Pak Toto Rahardjo, serta Mas Sabrang. Selain membahas tema, MS kali ini juga masih dalam suasana mengenang almarhum Pak Ismarwanto serta belajar darinya bersama kiai kanjeng juga, belajarbukan hanya pada musiknya melainkan juga kehidupan yang isa kita ambil nilainya. Berbeda pada saat maiyahan di Padhang Mbulan, kali ini yang diberi kesempatan bercerita perihal kesan atau kenangannya terhadap almarhum yang masih diingat hingga saat ini adalah para jama’ah.
Pak Toto Rahardjo memberikan ruang bagi jam’ah yang ingin mengungkapkan kesannya kepada Almarhum Pak Is. Ada beberapa respon saat itu, seperti Mbak Tamalia yang mengatakan bahwa entah kenapa pada saat maiyahan di Polinema, ia memoto Pak Is padahal tidak ada niatan sebelumnya. perlu diketahui bahwa maiyahan di Polinema Malang pada Januari lalu adalah maiyahan terakhir Pak Is. Mas Arbi yang meminta bartanya Quotes peninggalan atau khas Pak Is kepada bapak-bapak Kiai Kanjeng. Bahkan ada salah satu jama’ah yang menyebut Pak Is adalah wali kali Condet, karena waktu sebelum Pak Is meninggal tidak pernah ada kebanjiran, namun, setelah Pak Is tiada terjadi kebanjiran. Begitulah beberapa respon yang saya ingat pada malam itu.
Seusai mengikuti acara yag berakhir hampir pukul empat pagi, saya mengantar teman saya asal lamongan yang beranggotakan tiga orang perempuan, mereka minta ditemani naik ojek mobil online menuju stasun tugu. Sampai di stasiun Tugu kita berpisah, mereka menungu jadwal keberangkatan kereta dan saya meneruskan perjalanan menuju terminal Giwangan untuk mencari bus untuk pulang. Rute kepulangan saya ubah dari keberangkatan sebelumya, kali ini aya berencana lewat jalur selatan, dimana dari Yogya saya akan langsung menuju Surabaya, baru kemudian menuju Lamongan.
Dari stasiun Tugu, saya berjalan menuju Malioboro untuk naik transjogja menuju terminal Giwangan. Ternyata jam operasional Transjogja baru dimulai jam setengah enam pagi. Sembari menunggu jam bus di halte, saya menikmati wedangan di sebelah halte. Untuk langsung menuju terminal Giwangan dari Malioboro, saya harus menaiki bus transjogja berkode 3A.
Lima penumpang naik dari halte Malioboro, satu penumpang yang membuat saya agak terkejut adalah seorang kakek tunanetra. Dia naik sendiri, tidak ditemani siapa-siapa dan tujuannya sama dengan saya yakni terminal Giwangan. Tak banyak pelajaran yang saya nukil darinya, karena tidak ada komunikasi dengan beliau. Tapi ada satu hal saya tangkap, kebutaan terhadap dunia tak selalu bisa mematikan.
Sesampai di terminal Giwangan, saya turun dan mencari bus jurusan Surabaya. Karena aru pertama kali, saya pun bertanya kesana kemari tempat naiknya penumpang bus antar kota jurusan Surabaya. Setelah sampai, saya duduk di depan bus pengangkut penumpang menuju arah Surabaya untuk menungu bus agak penuh terlebih dahulu.
Semari menunggu bus supaya agak penuh, saya sempatkan membaca sebuah buku yang sengaja saya bawa sejak berangkat kemarin. Setelah membaca beberapa lembar, saya dihampiri seseorang seumuran ayah. Saya ditunjukkan letak penunggu penumpang jurusan Surabaya denan tarif ekonomi. Saya baru tersadar, bahwa daritadi saya menunggu di jalur bus dengan tarif eksekutif atau yang lebih mahal. Pak Mardi namanya, yang dengan sukarela dia menunjukkan saya ke tempat yang lebih murah, seakan dia tahu bahwa sangu saya waktu emang emang ngepas alias pas-pasan untuk naik kendaraan pergi pulang.
Pak Mardi merupakan perantau asal Ponorogo yang kebetulan mau pulang ke kota asalya setelah dari Cirebon. Dia berangkat merantau ke Cirebon sejak empat hari sebelumnya. Tujuannya ke tanah rantau tidak lain hanyalah unuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar daripada yang ia peroleh di kampung halamannya. Uang itu nantinya akan ia berikan kepada anak bungsunya yang masih dudk di sekolah dasar berupa sepeda. karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan, pak Mardi pulang. Ongkosnya pun sama seperti yang saya punya, pas-pasan.
Di Bus perjalanan pulang, Pak Mardi banyak bercerita mengenai keluarganya, dimana belia memiliki tiga anak, dua perempuan dan satu laki-kai yang merupakan paling bungsu. Anak pertama sudah menikah, dipersunting lelaki asal klaten. Kedua masih mondok di sebuah pondok pesantren di Kediri, dan yang terakhir masih duduk di sekolah dasar.
Dari cerita panjang beliau, yang paling saya kagumi adalah rasa tanggung jawab kepada keluarga kecilnya. Beliau berusaha sekuat tenaga menyukupi segala kebutuhan keluarga, terutama anaknya. Mungkin kali ini keajaiban Tuhan itu berperantara lewak Pak Mardi. Selain pertolongan beliau, hikmah dari perjalananan hidupnya juga bisa diterapkan untuk langkah saya kedepannya.
Itulah beberapa nukilan syafa’at dari perjalanan saya menuju Mocopat Syafa’at, semoga bermanfaat dan sampai jumpa di eMeS selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H