Mohon tunggu...
Ahmad Kafil Mawaidz
Ahmad Kafil Mawaidz Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani - Umar bin Khattab

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menukil Syafaat Lewat "Mocopat Syafa'at"

7 April 2018   12:06 Diperbarui: 7 April 2018   12:47 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tiga perihal yang saya garis bawahi terkait malam itu. Pertama respon Tuan Guru Bajang yang mengatakan bahwa Cak Nun adalah ahli thoriqoh,hal ini disampaikannya setelah Cak Nun membawakan nomor takbir akbar Yaa Huu. Tuan Guru juga menjelaskan bahwa puncak tauhid yaitu Huu, Huu adalah Dia yang maha segalanya. 

Selain itu, Putra pendiri Nadhatul Wathan ini juga diminta membawakan lagu oleh Cak Nun yang kemudian diiringi Kiai Kanjeng. Kedua, penuturan Pak Iyas mengenai korupsi E-KTP yang waktu itu belum diumumkan nama tersangkanya, tetapi di dalam forum tersebut sudah menyinggung yang bersangkutan (calon tersangka). 

Alhasil tepat satu bulan kemudian, orang itu resmi dijadikan tersangka korupsi mega proyek E-KTP. Ketiga Lagu Padhang Mbulan yang dibawakan oleh Ibu Via, yang saya sukai lirik akhirnya. Sesudah Senja, Diujung Duka,Nikmatilah,Mengalirnya Cahaya begitu mesranya masuk dalam sanubari jiwa.

Kembali menuju mocopat syafa’at yang kali kedua . Kali ini saya berangkat sendiri. Tidak ada kejutan maupun keajaiban yang terasa agak isimewa dalam perjalanan berangkat pada kala itu. Tema malam itu adalah “Tauhid Penghidupan”. Kalimat pertama yang saya garis bawahi dari Mbah Nun adalah ‘kita harus me-ma’rifat-i segala sesuatu, artinya kita harus melihat dan lebih keras daLam usaha memahami sesuatu dari pagkal sampai ujungnya’. Memasuki tema Mbah Nun menjabarkan bahwa penghidupan yaitu usaha kita untuk merawat kehidupan. 

Slain itu, Mbah Nun juga mengajak jama’ah untuk mundur satu langkah dalam berindak, bermuhasabah kembali atas segala tindakannya agar kedepannya langkah kita lebih komprehensif, lebih presisi, lebih adil terhadap segala laku hidup.

Di Mocopat Syafa’at kali ini juga hadir Pak Tanto Mendut, Kyai Muzzammil, Pak Toto Rahardjo, serta Mas Sabrang. Selain membahas tema, MS kali ini juga masih dalam suasana mengenang almarhum Pak Ismarwanto serta belajar darinya bersama kiai kanjeng juga, belajarbukan hanya pada musiknya melainkan juga kehidupan yang isa kita ambil nilainya. Berbeda pada saat maiyahan di Padhang Mbulan, kali ini yang diberi kesempatan bercerita perihal kesan atau kenangannya terhadap almarhum yang masih diingat hingga saat ini adalah para jama’ah.

Pak Toto Rahardjo memberikan ruang bagi jam’ah yang ingin mengungkapkan kesannya kepada Almarhum Pak Is. Ada beberapa respon saat itu, seperti Mbak Tamalia yang mengatakan bahwa entah kenapa pada saat maiyahan di Polinema, ia memoto Pak Is padahal tidak ada niatan sebelumnya. perlu diketahui bahwa maiyahan di Polinema Malang pada Januari lalu adalah maiyahan terakhir Pak Is. Mas Arbi yang meminta bartanya Quotes peninggalan atau khas Pak Is kepada bapak-bapak Kiai Kanjeng. Bahkan ada salah satu jama’ah yang menyebut Pak Is adalah wali kali Condet, karena waktu sebelum Pak Is meninggal tidak pernah ada kebanjiran, namun, setelah Pak Is tiada terjadi kebanjiran. Begitulah beberapa respon yang saya ingat pada malam itu.

Seusai mengikuti acara yag berakhir hampir pukul empat pagi, saya mengantar teman saya asal lamongan yang beranggotakan tiga orang perempuan, mereka  minta ditemani naik ojek mobil online menuju stasun tugu. Sampai di stasiun Tugu kita berpisah, mereka menungu jadwal keberangkatan kereta dan saya meneruskan perjalanan menuju terminal Giwangan untuk mencari bus untuk pulang. Rute kepulangan saya ubah dari keberangkatan sebelumya, kali ini aya berencana lewat jalur selatan, dimana dari Yogya saya akan langsung menuju Surabaya, baru kemudian menuju Lamongan.

Dari stasiun Tugu, saya berjalan menuju Malioboro untuk naik transjogja menuju terminal Giwangan. Ternyata jam operasional Transjogja baru dimulai jam setengah enam pagi. Sembari menunggu jam bus di halte, saya menikmati wedangan di sebelah halte. Untuk langsung menuju terminal Giwangan dari Malioboro, saya harus menaiki bus transjogja berkode 3A. 

Lima penumpang naik dari halte Malioboro, satu penumpang yang membuat saya agak terkejut adalah seorang kakek tunanetra. Dia naik sendiri, tidak ditemani siapa-siapa dan tujuannya sama dengan saya yakni terminal Giwangan. Tak banyak pelajaran yang saya nukil darinya, karena tidak ada komunikasi dengan beliau. Tapi ada satu hal saya tangkap, kebutaan terhadap dunia tak selalu bisa mematikan.

Sesampai di terminal Giwangan, saya turun dan mencari bus jurusan Surabaya. Karena aru pertama kali, saya pun bertanya kesana kemari tempat naiknya penumpang bus antar kota jurusan Surabaya. Setelah sampai, saya duduk di depan bus pengangkut penumpang menuju arah Surabaya untuk menungu bus agak penuh terlebih dahulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun