Akhir-akhir ini kita menyaksikan rentetan kabar pilu yang terjadi di jantungnya pusat ekonomi masyarakat Kota Tanjungpinang. Bagaimana tidak ?, dua peristiwa ambruknya pelantar pasar KUD menjadi potret suram, yang belum tersentuh setelah berdiri 30 tahun lamanya. Tahun 2019, Pemkot Tanjungpinang gembar-gembor memberitakan revitalisasi pasar yang berstatus tradisional ini akan dimulai pada tahun 2020 melalui Kementerian Perdagangan. Pemkot dan BUMD-nya pun sudah ancang-ancang untuk mendata seluruh pedagang kios dan lapak yang tentunya dengan “regulasi” baru.
Kondisi suramnya pasar kota diperburuk dengan memakan 5 orang korban yang salah satunya Seorang Ibu Hamil. Timbul dibenak kita semua, bagaimana bisa ?. Apakah Kota Tanjungpinang memiliki Staff yang tugasnya mengecek kelayakan bangunan khususnya bangunan tua. Tentu saja tidak ada.
Alih-alih pasar belum di revitalisasi, pedagang pasar ramai meneriakkan harga sewa lapak yang naik pada awal februari lalu, menyusul kenaikan harga sewa pada 2023 nanti. Tapi siapa yang peduli ? Di mata Pemerintah Kota, pasar KUD adalah roda bisnis tanpa memperhatikan aspek manajamen yang masuk dalam Studi Kelayakan Bisnis. Serta pada akhirnya kita semua sadar, bahwa tangan pemerintah itu bukan diatas telapak tangan rakyat. Akan tetapi tangan-nya dekat dengan leher rakyat, seperti yang dikatakan oleh Walikota Rahma “Jika tidak sanggup bayar, silahkan keluar” demikian kalimat yang keluar dari seorang pedagang Pasar Binsen, saat hendak audiensi. Hingga kita sadar, bahwa gaya komunikasi yang di-praktekkan oleh Walikota sangat jauh dari nilai-nilai kepemimpinan profetik (Dr. Kuntowijoyo) yang membawa misi humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Praktek Pembegalan Ekonomi Kelas Bawah
Dalam artikel kali ini, saya mencoba untuk mengantarkan permasalahan yang sudah lama terjadi dan “doyan” untuk terulang kembali. Peristiwa yang sebelumnya dibahas merupakan Praktek disfungsi sosial yang dipakai oleh kebanyakan pemerintah daerah dalam membangun saat ini, Bukanlah hal yang baru. Perlu diketahui bahwa pembangunan dalam sosiologi “harusnya” menggerakkan masyarakat untuk diajak mengambil peran bukan untuk mengangkat kekuasaan. Masyarakat yang harusnya menjadi tenaga pembangunan disalah artikan sebagai target pembangunan yang berujung “pembegalan ekonomi kelas bawah”. Padahal menyalahgunakan kekuasaan adalah hal yang sangat sering terjadi di dunia pemerintahan yang dikelola oleh “mafia”.
Sedikit kekanan dalam penjabaran sosiologi pembangunan, yang idealnya adalah untuk mencapai keadilan serta kemakmuran akan kemandirian ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian, proses atau usaha pembangunan memiliki arti humanisme, yakni memanusiakan manusia atau masyarakat. Dalam konteks isu yang saya angkat berkaitan kesalahan paradigma pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Konsep pembangunan yang dihadirkan justru berlawanan. Ketika Tiongkok mencoba membangun pondasi ekonominya dari bawah (UMKM) justur Indonesia menyulitkan UMKM sekelas penyewa lapak pasar dengan menaikkan harga sewanya. Disisi lain, Kementerian PAN-RB yang tugasnya mengawal kualitas implementasi manajemen kinerja instansi pemerintah, menilai pemerintahan pusat, daerah, serta instansi dibawahnya rata-rata belum menunjukkan belum memahami dengan baik alasan keberadaannya dan kontribusinya dalam pembangunan.
Selain itu, pemahaman pemerintah terhadap konsep value for money yang menjadi nyawa bagi anggaran berbasis kinerja sangat rendah. Hal ini yang biasa terjadi pun menjadi sebuah paradigma terhadap penganggaran Line Item Budgeting yang hanya fokus membiayai input tanpa mengetahui apakah pembiayaan input tersebut akan menghasilkan output dan outcome yang berdampak bagi pembangunan (menpan.go.id). Alhasil dari berbagai permasalahan tersebut, terdapat potensi pemborosan anggaran sebesar minimal 40% dari APBN/APBD (Kementerian PAN-RB, 2017).
Karena pada dasarnya, sistem pemerintahan Indonesia merupakan warisan dari Barat yang telah tertanam pada masa kolonial. Dalam teori Imperialisme yang berpijak pada konsep Neo-Marxisme bahwa persoalan yang dihadapi oleh negara sedang berkembang adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang erat sekali dengan faktor historis, yaitu eksploitasi, pemerasan, dan penjajahan. Ini merupakan kenyataan dalam sejarah karena kemiskinan negara-negara berkembang memang disebabkan faktor-faktor yang bersifat struktural. Dengan kata lain, kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan sengaja diciptakan oleh struktur politik dalam masa kolonialisme Barat.
Pada akhirnya kita semua yang masih bernafas, diberikan sebuah tanda tanya. Kemanakah kehadiran pemerintah selama pasar ini berdiri ?. Apakah hanya hadir saat penagihan sewa lapak ? atau hadir saat pasar ambruk ?. Semua pertanyaan ini terjawab dengan statemen pedas Walikota yang masih terngiang dibenak saya ; “kalau tidak sanggup bayar, keluar aja”. Hingga dalam kurun waktu 30 tahun saja pasar KUD itu berdiri, Pemerintah Kota belum ada “dana” sendiri untuk merevitalisasi pasar yang menjadi jantung ekonomi Kota Gurindam. Pemkot-pun pada akhirnya meminta Kementerian Perdagangan, itupun diundur sampai tahun 2023.
Filosofi Pasar : Pertukaran Transaksi Kehidupan
Pasar Tradisional juga menjadi salah satu cerminan suatu daerah Perkotaan. Mulai dari kelayakan hingga kebersihan patut menjadi wajah sosial masyarakat kota. Pada umumnya pasar tumbuh pada ruang publik kota sehingga keberadaan mereka cukup memengaruhi wajah kotanya. Dinamika pasar yang tinggi, diantaranya: kontak sosial antara penjual dan pembeli, konstruksi ruang usaha yang beragam mulai dari kios, tenda, gerobak, hingga lapak seadanya, serta manajemen ruang dan waktu memberikan makna tersendiri bagi kawasannya. Dalam aspek ekonomi, saya mengutarakan bahwa pasar adalah jantungnya ekonomi masyarakat menengah kebawah (mengingat Indonesia masih berstatus kelas menengah bawah).
Pasar Rakyat sendiri menjadi suatu tempat bertukar kehidupan antara pedagang dengan pembeli. Dimaknai dengan adanya transaksi jual beli. Pembeli yang menaruhkan hasratnya kepada barang yang dibeli. Begitu juga pedagang yang berhajat untuk melanjutkan hidupnya terhadap barang yang dijual. Sistematika kehidupan sosial ini telah lama terjadi bahkan sebelum tahun masehi dimulai. Pasar juga mempunya rasa persatuan dan kesatuan yang tidak kalah jauh dari tempat lainnya.
Penulis bisa merasakan bagaimana kehidupan pasar tercipta harmoni saat menyusuri lorong-lorong sempit sambil menanyakan berapa harga minyak goreng saat ini (lah kok gitu). Suatu hal yang bisa sama-sama kita rasakan ialah, Pasar adalah sumber kehidupan, penunjang bagi banyak orang yang ingin “mempertaruhkan” barang dagangannya demi dibeli. Hanya bermodal keyakinan dagangan mereka akan laku hari ini, meski harus membayar sewa yang mahal. (Tanjungpinang,5 Maret 2022)
Penulis : Kafabihi, S.Si (Pemikir di Atas Meja Kopi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H