Mohon tunggu...
Anim Kafabih
Anim Kafabih Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro

Tempat belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Sampah dan Penanganan Banjir

18 Januari 2020   07:23 Diperbarui: 31 Januari 2020   16:35 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, beberapa waktu yang lalu menurunkan tim untuk melakukan investigasi penyebab banjir di Jabodetabek, diketahui bahwa terdapat 6 sebab timbulnya banjir di area-area tersebut. 

Dua diantaranya adalah banyaknya drainase yang tersumbat, dan sungai yang meluap. Drainase yang seharusnya berfungsi untuk mengontrol air hujan banyak tersumbat karena banyaknya sampah, ditambah lagi dengan luapan air sungai yang menyebabkan banjir karena fungsi sungai yang mungkin saja sudah berubah dari mengalirkan air menjadi mengalirkan sampah yang dibuang masyarakat.

Setelah banjir mereda, banyak sampah yang menggunung dan belum dapat diurus dalam waktu singkat. Banjir di daerah Jabodetabek merupakan fenomena tahunan yang mengiringi pemberitaan media tiap musim hujan berlangsung. 

Dari bencana tersebut, pola yang sama terus terulang namun sangat jarang diperhatikan untuk dicari solusinya secara jangka panjang, yaitu pengelolaan sampah.

Setidaknya Ibukota Jakarta memiliki perda provinsi nomor 3 tahun 2013 yang merinci tentang pengelolaan sampah dengan prinsip dasar reduce, reuse, dan recycle atau 3R. 

Dalam perda tersebut tiap orang diwajibkan untuk mengurangi sampah dengan cara pengurangan kemasan atau produk yang dapat menimbulkan sampah, dan penggunaan kemasan/produk yang dapat dimanfaatkan kembali ataupun ramah lingkungan. Selain itu, tiap rumah tangga pun wajib paling sedikit melakukan pemilahan sampah rumah tangga sebelum diangkut.

Namun sayang, aturan tersebut hanyalah tulisan diatas kertas yang penerapannya masih kembali kepada personal masing-masing. Hal ini dikarenakan tak adanya pengawasan untuk mengawasi hingga ke tempat sampah tiap rumah atau memang lemahnya kesadaran akan pentingnya kebersihan, minimal untuk dapat membuang sampah pada tempatnya. 

Banjir yang tiap tahun menerjang dengan membawa sampah seakan hanya musibah yang memang harus dijalani penduduk ibukota dan sekitarnya sebagai konsekuensi tinggal di wilayah dengan perputaran uang terbesar di Indonesia. Jika sampah begitu pentingnya untuk dikelola untuk dapat menghindari banjir tahunan, lantas siapa pihak yang tepat untuk mengelolanya ?

Kegagalan pasar

Dalam perspektif ekonomi, pengelolaan sampah termasuk kegagalan pasar (market failure) karena sampah tak mampu memberikan signal harga kepada pelaku pasar karena memang sampah bukanlah suatu barang yang memiliki nilai sepadan untuk dijual. Konsekuensi nya, pasar tak akan merespon untuk dapat memberi pembiayaan pada sektor pengelolaan sampah. 

Hal ini dapat dilihat dari investasi green sukuk yang merupakan skema investasi yang diarahkan pada proyek-proyek ekonomi hijau. Berdasarkan data Green Sukuk Issuance kementerian keuangan, proyek hijau seperti manajemen sampah tidak dibiayai sama sekali di tahun 2018 dari sebelumnya di tahun 2016 alokasi pembiayaan nya sebesar 92,6 juta dolar. 

Hal ini sangatlah wajar karena para investor akan memilih berinvestasi di sektor-sektor dengan return yang relatif besar jika dibandingkan investasi yang diarahkan pada manajemen pengelolaan sampah dengan value added yang sangat kecil.

Jika pasar tak mampu "menyediakan" pengelolaan sampah, maka jawaban untuk permasalahan sampah tersebut, secara teori, adalah masuknya campur tangan pemerintah untuk dapat mengelola sampah dengan benar sehingga banjir dapat terhindarkan. 

Namun sayang, kejadian banjir yang terjadi hampir tiap tahun seolah-olah mengindikasikan adanya kegagalan pemerintah dalam hal pengentasan permasalahan sampah. 

Coba lihat pada perda no. 3 tahun 2013 yang menjelaskan bahwa pengumpulan sampah dilakukan dari berbagai sumber seperti saluran air, sungai, taman, kanal, dan lainnya untuk selanjutnya dipindahkan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 

Masih banyaknya sampah yang menumpuk di sungai-sungai maupun di drainase menjadikan sampah-sampah terlambat untuk dipindahkan ke TPA sebelum masuk musim hujan sehingga banjir menerjang.

Namun, bisa jadi kegagalan pemerintah disini disebabkan oleh perilaku oknum masyarakatnya sendiri yang membuang sampah tak pada tempatnya. Pada titik ini perlu adanya campur tangan pemerintah yang diarahkan untuk merubah perilaku mereka.

Perilaku masyarakat

Oknum-oknum dalam masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya termasuk dalam perilaku moral hazard yang mana agent (oknum dalam masyarakat) berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh principal (dalam hal ini pemerintah) dikarenakan principal tak mampu mengawasi perilaku tiap-tiap individu dalam membuang sampah. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu better monitoring, high incentives dan delayed payment.

Pertama, better monitoring, maksudnya adalah dengan memonitor perilaku oknum masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya dan yang memonitor disini adalah warga setempat. 

Langkah ini tentunya akan gagal jika masyarakatnya bersifat permisif dan untuk mencegah hal ini maka perlu kiranya penyadaran masyarakat akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya oleh volunteer pecinta lingkungan atau dinas-dinas tertentu.

Kedua, high incentive, dengan memberikan insentif yang cukup tinggi bagi RT atau pun RW yang memiliki lingkungan yang terjaga kebersihan nya atau juga insentif dalam bentuk menukar sampah-sampah tertentu menjadi uang atau pun kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang mana semakin tinggi insentif yang diberikan maka akan mendorong individu untuk semakin giat menjaga lingkungannya.

Terakhir, delayed payment, merupakan punishment yang diberikan kepada bupati atau pun walikota beserta para jajaran nya, dengan cara pemerintah membuat semacam indeks kebersihan daerah dimana jika terdapat beberapa daerah dibawah otoritas pemerintahan terkait memiliki indeks kebersihan yang dibawah rata-rata, maka gaji walikota atau bupati beserta para jajaran nya termasuk dinas-dinas terkait yang mengurus lingkungan akan ditunda pembayaran gajinya, atau tidak menerima bonus-bonus diluar gaji pokok.

Penanggulangan banjir tak hanya melibatkan pemerintah namun juga perlu adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah merupakan cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah tahunan ini sehingga kelak saat musim hujan tiba, tiap orang dapat menikmati turunnya hujan dengan secangkir kopi dan bau humus yang menyegarkan.

Tulisan ini sudah di publikasikan di Malang-post versi Online.
Link tautan : https://malang-post.com/berita/detail/ekonomi-sampah-dan-penanganan-banjir 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun