Langsung menuju ke ruang khusus imam masjid tempat Kai Husin biasanya menunggu datangnya shalat Subuh, aku dikejutkan oleh obrolan dari dua orang yang sangat kukenal suara dan juga gaya bicaranya dari dalam ruangan.
"Kai Hasan!?" Gumamku dalam hati. Ini benar-benar surprise. Sungguh! Sejak ada masalah sengketa, komunikasi kami dengan keluarga Kai Hasan benar-benar beku. Bagaimana bisa, tiba-tiba beliau bersama Kai Husin!?
Belum sempat kuketuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka.
"Rizal!? Waaah pucuk dicinta ulam pun tiba. Ayo masuk jurnalis!" Kai Hasan yang tadinya mau keluar ruangan, langsung menarikku ke dalam.
"Baru saja, kami selesai membicarakanmu! Ayo duduk, kai pesankan minuman dulu di kantin!" Setelah menuntunku duduk, Kai Hasan langsung keluar ruangan.
"Ada apa ini kai?" Tanyaku kepada Kai Husin.
Bukannya menjawab pertanyaanku, sidin justru memberiku sebuah buku tebal mirip buku harian dengan sampul muka bertuliskan Karindangan yang tampak sudah usang dan tua.
"Itu buku catatan peninggalan datukmu, Hajjah Maryam! Disitu ada banyak rahasia yang akan menjawab semua keingintahuanmu. Bacalah cu!" Kata Kai Husin.
Di halaman pertama, aku langsung menemukan prasasti tulisan tangan datuk, "Untuk Hasan dan Husin, Putra kembarku tersayang!", berikut catatan yang mengerucut pada sebuah pesan pada keduanya untuk terus menjaga silaturahim apapun yang terjadi. Menurut Datuk, itulah ikhtiar merajut kasih sayang paling nyata.
"Masha Allah, ini ternyata alasan Sidin berdua tetap menjaga silaturahmi, meskipun bekas luka akibat sengketa belum juga mengering", Gumamku dalam hati.
Selanjutnya, berbekal penanda halaman buku yang sepertinya sengaja dibuat Kai Husin, aku menemukan catatan resep-resep orisinil dan otentik masakan khas Banjar tulisan tangan datuk, seperti sop, soto sampai bubur ayam asli khas Banjar.