Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Misteri Sepasang Kunang-kunang di Balik Halimun Kabuaran

27 Juni 2024   06:40 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:44 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sepasang kunang-kunang yang terbang beriringan itu, pelan-pelan pendar cahayanya berubah menjadi kemerahan-merahan dan semakin memerah darah ketika wujudnya semakin besar, besar dan terus membesar ketika didekati dan..."

Memasuki hitungan pekan ketiga-keempat, pengabdian kelompok KKN kami di ketinggian Desa Kabuaran, Bondowoso, progresnya terus membaik. Bahkan saking membaiknya beberapa diantara kita, malah serasa tinggal di kampung sendiri lho!

Secara perlahan, kami mulai menikmati beragam sensasi tinggal di lereng pegunungan bersama oreng pendhalungan atau Madura Pendalungan, sub etnis Madura yang sudah bercampur dengan masyarakat Jawa di sepanjang kawasan tapal kuda, Jawa Timur, termasuk di Bondowoso.

Khusus yang mendiami kawasan Bondowoso, konon memang sudah mendiami Bumi Bondowoso ini jauh sebelum Kadipaten ini didirikan oleh Ki Ronggo I, Bupati pertama Bondowoso yang juga bangsawan Madura di awal-awal abad ke-19.

Berbagai kendala krusial di awal-awal pengabdian, terutama masalah komunikasi yang tidak lancar, karena tidak satupun diantara kami yang bisa berbahasa Madura dengan baik, akhirnya menemukan juga jalan solusi.

Begitu juga dengan masalah MCK "open" yang awalnya membuat kami risih, setelah menemukan triknya, sekarang kami malah ketagihan dengan sensasinya...he...he...he... Sueeger mase!

Satu lagi! Kegamangan kami, terutama "kakak-kakak" cewek terhadap keamanan Desa Kabuaran yang disebut-sebut masih cukup berbahaya, karena dikenal sebagai "destinasi" utama sindikat maling sapi yang setiap beraksi konon suka nekat! Alhamdulillah sejauh ini tidak terbukti. Sampai detik ini, Kabuaran masih aman-aman saja.

Memang sih, beberapa hari yang lalu kita di posko sempat siaga 1, setelah Mbak Wahyu dan Kak Hani yang kebetulan terbangun di lepas tengah malam karena sakit perut dan harus menuntaskannya di WC dapur posko, mengaku dikejutkan oleh obrolan misterius, sepertinya dari beberapa orang di balik dinding dapur, tapi dengan suara berbisik, sehingga tidak terlalu jelas isi obrolannya, meskipun sekilas mereka menyebut-nyebut kata sapi dalam bahasa Madura!

Maklum, meskipun dinding seng di dapur posko terlalu tipis untuk meredam percakapan misterius itu. Tapi, mereka sepertinya cukup berhati-hati dan terbukti, begitu terdengar gemericik air dari WC, suara percakapan itu tak lagi terdengar. Siapa malam-malam ngobrol di situ? Komplotan maling sapi!? Atau mungkin warga yang sedang berjaga di kebun jagung!? Ah entahlah!

Memang, masyarakat Kabuaran mempunyai tradisi unik di setiap menjelang musim panen jagung, yaitu melek'an masal, khususnya  para pemuda dan bapak-bapak.

Seperti saat ini, ketika panen raya jagung tinggal menuggu harinya saja, sebagian besar lelaki dewasa di Kabuaran akan memilih untuk begadang di malam hari dari pada tidur. Mereka lebih memilih menjaga kebun jagung dari serangan koloni babi, bersama saudara atau tetangga lainnya, maupun untuk ronda malam bersama grupnya, hingga sejauh ini keamanan di Kabuaran memang terasa kondusif.

Nah, sambil menyelam minum susu, eh... minum air! Tentu saja kami tidak mau melewatkan kesempatan emas untuk berbaur dengan warga Kabuaran dalam aktifitas kesehariannya, sekaligus merasakan sensasi begadang malam-malam menghadang serangan babi-babi liar, juga kemungkinan kawanan sindikat maling sapi. Kapan lagi kami bisa merasakan sensasinya ini semua kalau tidak sekarang!?

Makanya, dengan senang hati kami juga memilih untuk ikut terlibat dalam dua aktifitas warga Kabuaran yang kelak mempertemukan kami dengan definisi dari sensasi ngeri-ngeri sedap yang sebenar-benarnya ini!

Kerennya! Berangkat dari kebersamaan dan keintiman kita dengan masyarakat inilah, akhirnya kami justeru menemukan banyak fakta mengejutkan terkait dinamika kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kabuaran yang sebelumnya sangat sulit untuk kami gali alias off the record, mungkin karena dianggap aib hingga dinilai tabu untuk dibicarakan, apalagi dibahas dengan "orang luar" seperti kami.

"Kalau di gunung, kalian melihat sepasang atau lebih kunang-kunang dengan jumlah genap, segera tinggalkan! Jangan dilihat lagi apalagi di hampiri!", pesan Haji Hasan, tetua kampung yang juga juragan tembakau dan jagung di Kabuaran, pemilik rumah posko kami, sesaat sebelum kami shalat Isya berjamaah di langgar Al Hidayah di depan rumah beliau.

"Tapi kalau jumlah kunang-kunangnya ganjil, tidak apa-apa!" Lanjut beliau, masih dengan bahasa Maduranya yang medok, sambil memberi aba-aba kepada Bang Ihsan agar segera mengumandangkan Iqamah, hingga kami tidak sempat bertanya sedikitpun perihal misteri sepasang kunang-kunang yang baru saja disebut-sebut beliau, hingga kami semua dibuatnya penasaran. Makhluk atau apa itu sebenarnya?

Baca Juga Yuk! Oedipus Complex, Ketika Cinta Tak Lagi Buta (Warna)

Malam ini, sesuai jadwalnya, aku dan Bang Deni kebagian jaga malam di kebun jagung Haji Hasan bareng Bang Zul, Bang Harun, sulung Haji Hasan dan warga lainnya.

Seperti biasanya, kami selalu mempersiapkan semua perbekalan wajib "dinas malam" di kebun jagung selengkap mungkin. Bahkan Bang Deni sampai membuatkan check list-nya agar tidak ada satupun yang tertinggal. Karena kalau ada yang ketinggalan, ujung-ujungnya pasti kita juga yang bakalan super repot!

Tidak hanya capek dan menguras tenaga saja, kalau harus bolak-balik dari kebun ke rumah Haji Hasan yang sebagian besar memang hanya bisa diakses dengan jalan kaki sekitar 2 jam perjalanan, tapi juga seremnya suasana di sepanjang perjalanan yang gelap gulita itu lho yang enggak nguatin!

Tahu sendiri kan, situasi kebun yang terletak di bagian atas kampung Kabuaran! Selain jarang ada pemukiman warga, kecuali pantulan cahaya rembulan, juga bisa dibilang tidak ada penerangan yang memadai di sepanjang perjalanan. Apalagi kalau kabut pekat ikut turun menyelimuti, ini akan menyempurnakan dinginnya udara malam dan juga serunya...eh seremnya! Hi...hi...hi...hiiiiiiiiiiii!

Untuk kelengkapan badan, kami pasti sudah siap dengan pakaian lengkap sejak dari posko, mulai dari kaos lengan panjang, jaket, sarung, kupluk sampai kaos kaki dan kaos tangan juga tidak ketinggalan.

Selain itu, rombongan kami juga akan membawa bekal lengkap untuk sekira 5-6 orang sekaligus, mulai dari nasi lengkap dengan lauk pauknya masakan Bu Haji Hasan, beragam gorengan manis dan asin sekantong plastik lumayan besar, kopi panas yang minimal harus membawa 3-4 termos, si tambeng secukupnya tidak boleh ketinggalan, juga tas obat yang sejak kehadiran kami nggak boleh lagi terlewatkan.

Malam ini merupakan "dinas" kali keduaku di kebun jagung Haji Hasan, begitu juga dengan Bang Deni setelah sekitar seminggu sebelumnya aku mengawalinya, tapi dengan Bang Taufik sebagai partner dari posko.

Pengalaman seru pertama kalinya diserang kawanan babi yang menurut Bang Zul masih level-level kelas yunior saat itu, jelas tidak akan pernah aku lupakan. Bahkan untuk mengingatnya sekaligus berbagi keseruannya, aku merasa perlu menuliskannya dalam sebuah cerita pendek berjudul "Romansa si Tambeng dan Babi-babi Belajar di Ketinggian Kabuaran" yang Alhamdulillahnya, dimuat juga di salah satu media nasional terbesar Indonesia. Keren kan!?

"Kenapa Bang !?" Suara berbisik tapi seperti teriakan tertahan karena terkejutnya Bang Deni ketika Bang Zul, pemimpin rombongan di depannya, tiba-tiba berhenti mendadak membuyarkan "tayangan film" di benakku saat itu, hingga akupun hampir menubruk Bang Deni yang ada di depanku.

"Sssssssst!!!", terdengar suara Bang Zul mendesis dan sekilas tampak memberi aba-aba ke kita yang di belakang agar diam dengan menaruh jari telunjuk kirinya di depan bibir, sedangkan dengan tangan kanannya yang diantara jemarinya masih menjepit tingwe si-tambeng, meminta kita yang dibelakangnya untuk merapat ke depan dan tetap waspada. Entah apa maksud dan tujuannya!?

Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi. Semua diam beberapa menit dalam kegelapan malam, hanya cahaya dari kretek si-tambeng terbakar yang dihisap Bang Zul di depan dan Bang Harun di belakang kami saja yang masih meninggalkan jejak cahaya, sampai Bang Zul akhirnya memberi kode agar kita berdiri untuk melanjutkan perjalanan.

Sementara itu di posko, Ce Netty yang sendirian mempersiapkan makan malam di dapur, sedangkan Mbak Wahyu, Mbak Nina, Ka Hani dan Kak Rina masih Yasinan di langgar, tiba-tiba dikejutkan oleh suara geraman halus tapi jelas terdengar dari arah belakang. "Hhhheeeeemrmrmrmrm!" suara menggeram itu kembali terdengar. Kali ini sedikit lebih jelas dan menjadikan suasana so scary!

Tiba-tiba Ce Netty merasakan bulu kuduknya berdiri dan merinding di sekujur badannya. Bulu-bulu halus di tangannya berdiri tegak! Ini aneh! Ce Netty menjadi keheranan sendiri melihat bulu-bulu tangannya berdiri tegak!

"Ada apa ini!? Seumur-umur baru sekali ini aku merasakan suasana seperti ini". Sambil terus berbisik pada dirinya sendiri untuk menjaga kesadaran, Ce Netty juga terus berusaha menguasai diri dengan terus berpikir logis.

Setelah terdengar geraman ketiga, barulah Ce Netty bangkit dan berbalik menuju arah asal suara yang sepertinya dari kamar mandi. Tapi anehnya, di kamar mandi bercahaya lampu pijar 10 Watt itu, Ce Netty tidak menemukan apapun. Tapi ketika mau berbalik, ekor mata Ce Netty menangkap sesuatu dari lubang angin WC yang mengarah ke kebun.

Meskipun sekejap, Ce Netty sempat menangkap dua bola cahaya kekuningan bersemu merah, sepertinya inti bola mata yang seketika seperti terbang dan menjauh dengan menyisakan suara menggeram yang lebih panjang dari sebelumnya.

"Ya Tuhan, apa itu tadi!?" Meskipun kaget dan lumayan bergidik juga, Ce Netty yang tiba-tiba merasa kegerahan meskipun udara sedang dingin-dinginnya, tetap berusaha tenang dan menguasai diri dengan duduk dan mengatur nafasnya senyaman mungkin.

Baca Juga Yuk! "Romansa si Tambeng dan Babi-babi Belajar di Ketinggian Kabuaran"  

"Ada yang lewat dan tiba-tiba memotong jalan kita tadi!" Bang Zul membuka obrolan, memecah kebekuan dalam cuaca dingin, ketika kami baru saja sampai di pondok dan mulai meluruskan kaki-kaki kami sambil meneguk air mineral dari botol yang kami bawa.

 "Ooooh!" sahutku juga Bang Deni berbarengan, sambil berpandang-pandangan dan mengangguk-angguk tanpa merasa perlu lagi memperjelas apa yang diceritakan Bang Zul. Kami paham apa maksudnya. Karena kami berdua yang posisinya saat kejadian tepat di belakang Bang Zul, tidak merasa melihat apapun saat itu. Artinya yang dimaksud Bang Zul lewat dan memotong jalan pastilah... Ah, pahamkan siapa itu?

Di pondok yang sengaja hanya ditutup sebagian saja di bagian bawah itu, dengan pencahayaan dari ublik yang berbahan bakar getah damar dengan bau harum yang khas itu, kami memulai "dinas malam" dengan makan bersama sambil sesekali menyeruput seduhan kopi Arabika nashitel buatanku yang Insha Allah akan membuat kita melek terus semalaman.

Kali ini, karena bertepatan dengan malam Jumat, seperti biasanya Bu Haji Hasan selalu membekali kami dengan lauk spesial, yaitu ayam bakar pedas resep keluarga Pendalungan yang telah berumur ratusan tahun sebanyak 2 ingkung atau 2 ekor ayam yang dimasak utuh. Waaah siapa yang sanggup menolak kalau sudah begini!?

Karena selepas Maghrib tadi, aku dan Bang Deni nggak sempat ke dapur posko untuk makan malam dan sepertinya kami berenam memang kelaparan setelah berjalan menanjak sekitar 2 jam, maka ingkung ayam bakar yang baunya begitu menggoda ini, sepertinya tidak akan berumur panjang.

Ketika lagi enak-enaknya menikmati ingkung ayam bakar yang mengingatkanku pada olahan ayam panggang tumbang alias ayam panggang berbumbu ketumbar-bawang khas Madiunan olahan ibu yang citarasanya mirip banget, tiba-tiba kami dikejutkan oleh Bang Deni yang tiba-tiba berdiri dan terlihat seperti melihat sesuatu di titik sebelah kanan kami, tepat di pepohonan trembesi tua yang dari jauh kelebatan daunnya membentuk imajiner selayaknya rambut kribo itu.

"Duduk Den, palingkan pandanganmu!" Perintah Bang Harun sambil menarik tangan kiri Bang Deni yang sepertinya melihat sesuatu di kejauhan, sampai dia terduduk.

"Astaghfirullah, Bang...!" Ucap Bang Deni setelah berhasil menguasai dirinya sendiri sepenuhnya.

"Iya aku tahu! Sudah biarkan saja! Ayo dilanjut makannya, nanti keburu dingin dan nggak enak lagi dimakan!" Jawab Bang Harun lagi, singkat padat dan jelas dengan bahasa Maduranya yang medok.

Kami yang lain hanya saling pandang saja. Kalau Bang Zul, Bang Harun dan warga lain yang ikut jaga, aku yakin mereka pasti sudah biasa dengan situasi seperti ini dan pastinya tahu betul apa yang dilihat sama Bang Deni barusan, tapi aku!?

Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!? Apa yang dilihat sama Bang Deni? Apa iya, calon tukang insinyur listrik itu melihat sepasang kunang-kunang seperti yang dibilang Haji Hasan sore tadi? Waduuuuuuuuh!

Selesai membereskan peralatan makan, kami berenam langsung dibagi Bang Zul menjadi 2 tim, Aku, Bang Deni dan Bang Zul tetap berjaga di pondok yang sekarang kita tempati, sedang Bang Harun dan dua warga lainnya di pondok ujung kebun yang lokasinya masih harus naik keatas sekitar sejam perjalanan lagi.

Seiring kepergian Bang Harun dan warga yang bertugas di pondok atas, kabut halimun tipis mulai turun dan menyelimuti sekitar kami. Sayup-sayup dari kejauhan sudah mulai terdengar riuh bebunyian yang rangkaian talinya pasti dikekang oleh penjaga kebunnya, menandakan sudah ada pergerakan koloni babi di sekitarnya.

Mendengarnya, Bang Zul langsung memberi aba-aba kepada kami berdua agar bersiap untuk segera menarik tali kekang bebunyian yang terikat di tiang-tiang sudut pondok, agar kawanan babi yang sudah berkeliaran tidak mampir ke kebun kita. Seketika, keheningan malam yang tadinya begitu senyap langsung tersentak oleh riuhnya bebunyian yang perlahan mulai memekakkan telinga.

Secara bergantian, aku dan Bang Deni, juga Bang Zul menarik tali kekang tanpa henti setidaknya selama 30 menit atau sampai situasi dirasa aman yang biasanya ditandai dengan berhentinya semua bebunyian dari berbagai arah kebun.

"Tang!" Di tengah-tengah adrenalin kami yang mulai naik karena mulai terlihat ada beberapa babi yang tersasar, lepas dari koloni yang berlarian tak tentu arah di dekat pondok, Bang Deni tiba-tiba berteriak kearahku.

"Ada apa bang?" Tanyaku kepadanya, setelah kulepas tali kekang bagianku.

"Kau coba perhatikan itu!? Masak kau tak lihat sepasang kunang-kunang atau apa itu!?" Sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah pohon trembesi raksasa berjarak sekitar 30 meteran dari pondok, Bang Deni menyebut ada sepasang kunang-kunang atau entah apa disana.

Tapi anehnya, aku sama sekali tidak bisa melihatnya. 

Mendapati kami berdua sedang menunjuk-nunjuk kearah pohon trembesi, Bang Zul langsung menghampiri kami.

"Itu yang warnanya kuning kemerahan menyala-nyala!" Bang Deni terus mendiskripsikan si kunang-kunang atau entah apa itu sedetail-detailnya kepadaku, tapi aku tetap saja tidak bisa melihat apapun. Makhluk apa sebenarnya, sepasang kunang-kunang itu?

"Den, Tang! Sudah jangan dilihat terus! Palingkan pandanganmu! Si Kunang-kunang itu hanya ingin menarik perhatian  kalian. Abaikan saja! Ayo tarik lagi kekangnya, dari arah atas suara bebunyian semakin lantang dikekang, berarti babi-babi itu mulai datang ayo bersiap!" Teriak Bang Zul kepada kami berdua dengan bahasa Madura Pendalungan yang mulai akrab di telinga kami.

"Menarik perhatian!?" Gumamku dalam hati. Emang dia apa, eh siapa? Kok aku nggak bisa juga melihatnya ya!? Aku benar-benar semakin penasaran dibuatnya.

Benar saja, tidak berselang lama, tiba-tiba pecahan koloni babi yang sepertinya masih seumuran dengan yang seminggu lalu menyerang kebun kami, nyasar menghambur ke kebun dari beberapa arah. Bahkan karena arah lari mereka yang tidak beraturan, ada beberapa diantara mereka yang saling bertabrakan, bertumbukan! Buuuug! Hingga beberapa diantaranya terguling-guling di hadapan kami.

Tentu saja yang begini jadi hiburan tersendiri bagi kami, orang luar yang belum pernah melihat sebelumnya. Mau tertawa takut kualat, nggak tertawa tapi lucunya nggak ada obat! He...he...he...

Inilah salah satu keunikan tradisi di Kabuaran, setiap menjelang panen raya jagung yang kelak ingin kami rekomendasikan kepada pemerintah setempat untuk dijadikan destinasi wisata minat khusus.

Kalau wilayah hutan diatas yang dikelola perhutani sudah biasa menjadi destinasi wisata berburu oleh klub-klub pemburu babi profesional, maka area kebun yang ada di bawahnya bisa juga dijadikan destinasi wisata festival panen raya jagung yang salah satu ikonnya, ya pertunjukan menghalau koloni babi-babi di tengah malam ini.

Apalagi, aktifitas ini telah lama menjadi kearifan lokal Kabuaran yang terus dijaga. Meskipun babi-babi itu termasuk hama yang menggangu dan merugikan, tapi masyarakat Kabuaran sama sekali tidak berniat melukai apalagi membunuh mereka!

Ini yang unik! Menurut keyakinan komunal mereka, jika ada babi yang terluka apalagi terbunuh, maka koloni mereka akan semakin besar dan beringas menyerang apa saja sampai ke rumah-rumah di kampung. Wooow!

Baca Juga Yuk! Oedipus Complex, Ketika Cinta Tak Lagi Buta (Warna)

"Sama sepasang kunang-kunang raksasanya juga?" Bang Deni menyela pemaparanku terkait ide menjadikan tradisi menghalau babi yang full atraksi itu menjadi destinasi wisata, saat kelompok KKN kami berdiskusi dengan Pak Tinggi atau Pak Kades Kabuaran dan Pak Camat beberapa hari kemudian di Posko.

Anehnya, meskipun berusaha tersenyum, gestur Pak Tinggi tiba-tiba berubah ketika mendengar ucapan Bang Deni soal sepasang kunang-kunang itu. Dari yang tadinya sumringah dan terlihat sangat antusias mendengar pemaparan kami, tiba-tiba terlihat menjadi gusar dan gelisah, seperti orang yang ketakutan. Kenapa ya?

Bahkan tiba-tiba, ditengah-tengah obrolan yang belum tuntas itu, Pak Tinggi Amsyari minta ijin untuk pulang. Sebentar saja, katanya mau mengambil sesuatu di rumah.

Sepeninggal Pak Tinggi, kami melanjutkan diskusi dengan Pak Camat yang ternyata baru saja menjabat di Kecamatan Grujugan sekitar sebulan sebelum tim KKN kami di terjunkan ke Kabuaran, jadi beliau juga mengaku masih belum mengenal betul dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabuaran, termasuk tradisi berjaga babi sebelum panen jagung dan tentunya "legenda" sepasang kunang-kunang raksasa yang tadi disebut-sebut Bang Deni.

Tidak berapa lama Pak Tinggi Amsyari datang dengan membawa seperti buku atau bundel kliping yang dari penampakannya terlihat tampak sudah lumayan tua.

"Adik-adik KKN yang saya cintai dan sayangi, ini saya bawakan kliping milik almarhum orang tua saya yang dulu juga jadi Pak Tinggi di akhir 70-an sampai 80-an".

"Artikel berita yang dikliping abah saya ini didapat dari koran dan majalah yang memberitakan tentang 'legenda' misteri sepasang kunang-kunang di desa kita yang tadi disebut sama Bang Deni. Salah satu diantaranya yang berjudul 'Misteri Sepasang Kunang-kunang di Balik Halimun Kabuaran' yang ditulis oleh wartawan berdasarkan pengalaman saya  yang terjadi kalau tidak salah di sekitar awal 80-an dan traumanya masih tertinggal sampai hari ini".

"Saat itu keluarga kami baru saja pindah ke Desa Kabuaran ini setelah Abah yang memang asli orang sini memenangkan Pilkades atau terpilih menjadi kepala desa yang di sini disebut sebagai Pak Tinggi, disaat Ami atau ebo (ibu) saya sedang hamil besar dan tinggal menunggu hari untuk melahirkan".

"Sore itu, saya sendirian di rumah, karena Abah mengantarkan Ami ke bidan di desa bawah sana, karena mau melahirkan. Selepas Maghrib, karena merasa sangat lapar, saya bermaksud membeli kue atau makanan apa saja yang ada di warung untuk dimakan". 

"Tapi, beberapa puluh meter dari rumah, tepatnya di balik tegakan pohon trembesi tua di dekat perempatan yang sekarang sudah jadi balai warga itu, saya melihat sepasang kunang-kunang terbang dari jarak sekitar 20 meteran. Karena dasarnya saya suka penasaran sama yang nggak biasa gitu, maka saya datangi sepasang kunang-kunang itu". 

"Tapi anehnya, pelan-pelan pendar cahayanya berubah menjadi kemerahan-merahan dan semakin memerah darah ketika wujudnya terlihat semakin jelas, besar, besar dan terus membesar ketika didekati dan tiba-tiba hermrmrmrmrmrm! Suara menggeram itu!"

"Sepasang kunang-kunang itu ternyata biji mata dari sosok yang sangat besar! Sekujur tubuh raksasanya yang lebih tinggi dari rumah dipenuhi bulu kasar yang sangat tebal dan berbau apek, saat itu juga saya ingin lari, tapi kaki saya seperti lumpuh dan semakin lemas ketika kepala bermata merah dengan gigi bertaring tajam yang sangat besar dan mengerikan itu terus mendekat hingga tak berjarak, sampai saya mengenalinya, itulah gondoruwo!"

Semoga bermanfaat!

Salam matan kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun