Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - 2020 Best in Citizen Journalism

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari "Tangan Dingin" Bu Puni, Menerangi Pelosok Negeri dengan Air

20 Juni 2024   21:53 Diperbarui: 20 Juni 2024   22:25 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kincir Air | medialampung.disway.id

Menyebut nama Tri Mumpuni  atau Bu Puni, panggilan akrab beliau, sepertinya  belum banyak yang  mengenalnya dengan baik. Tapi tidak, kalau menulis nama beliau di mesin pencari internet!

Jangan kaget kalau layar gawai akan dipenuhi artikel  "magisnya sentuhan  tangan dingin"  perempuan kelahiran Semarang ini menerangi pelosok negeri dengan air!

Dengan air!? Ya, Bu Puni  dikenal dunia dengan prestasi luar biasanya di dunia sains dan teknologi terapan. Khususnya pemanfaatan teknologi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Berkat "tangan dinginnya" pula, perempuan  berjuluk "wanita listrik" ini, banyak mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari dunia luar, termasuk penghargaan bergengsi "Nobel-nya Asia", Ramon Magsaysay Award (2011) dan  Asdhen Award (2012) dari Inggris

Tidak hanya itu! Diam-diam, alumni IPB dan Chiang Mai University ini ternyata juga masuk dalam daftar The Muslim 500 alias 500 Muslim Berpengaruh di Dunia tahun 2021, versi Royal Islamic Strategies Studies Centre!


Wajar kalau Bu Puni yang dikenal sebagai sosok sepi ing pamrih, rame ing gawe ini lebih dikenal di internet atau dunia maya! Karena beliau memang sering mempublikasikan ide, gagasan dan aktifitas inspiratif beliau di dunia maya yang memang lebih efektif dan efisien.

Apa yang sebenarnya dilakukan Bu Puni?

Berawal dari kebiasaan Bu Puni dan suami, Iskandar Budisaroso Kuntoadji  blusukan ke desa-desa terpencil yang belum tersentuh infrastruktur, termasuk jaringan listrik, meskipun potensi sumber energi berupa tenaga air di sekitarnya begitu melimpah.

Melihat ini, Bu Puni yang sejak mahasiswa sudah terbiasa terlibat dalam proyek pemberdayaan desa, terpanggil untuk serius dan fokus memberdayakan sumber energi terbarukan itu menjadi PLTMH yang diyakini beliau sebagai kunci pembangunan sosial-ekonomi desa-desa terpencil tersebut.

Diawali dengan membangun PLTMH di Dusun Palanggaran dan Cicemet, enklave Gunung Halimun, Sukabumi pada 1997, sejak saat itu "tangan dingin" Bu Puni dengan berbekal air, terus menerangi  desa-desa terpencil di pelosok negeri.

Mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,  Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Sumba, Papua, Kalimantan Timur, Maluku, Seram Barat, Tana Toraja, bahkan juga Filipina dan beberapa negara di Afrika yang sedang melakukan penjajakan kerjasama serius.

Desa-desa terpencil yang dulunya gelap gulita, sekarang terang benderang, sehingga potensi ekonominya bisa diberdayakan secara maksimal, untuk membangun peradabannya sendiri secara mandiri.

Untuk itu, Bu Puni biasa berhari-hari tinggal di desa-desa terpencil, mengeksplorasi kekayaan energi alamnya, mengumpulkan beragam data yang diperlukan, terutama potensi mikro Hidro dan daya dukung lingkungannya.

Selain itu, Bu Puni juga membangun komunikasi dengan masyarakat setempat guna memastikan kesiapan mereka untuk terlibat dalam pembangunan, pemeliharaan, hingga perawatan  PLTMH yang didanai oleh pihak swasta dengan komposisi kepemilikan berbagi dua tersebut.

Mengingat potensi PLTMH ini tidak hanya berupa akses listrik semata, tapi juga profit secara ekonomi, maka PLTMH wajib dikelola secara profesional. Sehingga perlu dibentuk badan hukum koperasi untuk mengorganisir semua kepentingan ekonomi dan sosialnya agar transisi energi adil bisa benar-benar adil dirasakan masyarakat.

Kedepannya, separuh keuntungan yang menjadi hak masyarakat, bisa dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam skema dana sosial untuk kesejahteraan bersama. Bisa dalam bentuk dana bergulir untuk modal usaha, subsidi kesehatan, bantuan biaya pendidikan, dana reboisasi dll.

Selanjutnya, untuk menjaga eksistensi PLTMH, agar tetap bisa mendapatkan pasokan air untuk menjalankan fungsinya secara berkelanjutan, Bu Puni juga memetakan daerah tangkapan air di hulu sungai untuk memastikan ketersediaan area hutan minimal seluas 30 kilometer persegi yang wajib dijaga kelestariannya.

Disini, Bu Puni melibatkan masyarakat lokal secara penuh untuk aktif menjaga kelestarian hutan di sekitar lingkungan desa dari berbagai kemungkinan kerusakan yang tentunya akan memberi dampak positif bagi keseimbangan alam sekaligus  mereduksi dampak perubahan iklim global, termasuk upaya menekan Net Zero Emmision. 

Apa yang bisa kita pelajari dari tangan dingin Bu Puni yang begitu gigih menerangi desa-desa terpencil dengan air?

Satu yang paling krusial, Bu Puni telah membuktikan sekaligus membuka mata kita, bahwa perempuan juga bisa mengambil peran strategis dalam menjembatani transisi energi berkelanjutan, guna mewujudkan kedaulatan energi sekaligus menghadapi berbagai tantangan dan ancaman perubahan iklim di masa depan!

Kabar gembira ini semakin menambah optimisme tren positif keterlibatan perempuan secara aktif dalam  pemberdayaan kelompok rentan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan, terkhusus dalam transisi energi terbarukan yang gencar diadvokasi banyak pihak, termasuk Oxfam.

Konfederasi internasional yang bekerja di lebih dari 90 negara ini mendukung transisi energi inklusif yang melibatkan dan memberdayakan perempuan juga kelompok rentan. Mereka memastikan suara perempuan didengar dalam pengambilan keputusan energi di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Klop dengan misi Bu Puni!

Kerennya, sebagai aktor utama perempuan dalam "lakon" transisi energi berkelanjutan, Bu Puni bukan tipikal yang hanya minta panggung atau menunggu dibuatkan panggung dulu baru beraksi, tapi justeru sebaliknya!   

Bu Puni, seorang ibu, isteri, sekaligus ibu rumah tangga ini memilih mendirikan panggungnya sendiri untuk aktualisasinya menjembatani tradisi, sumber energi lokal dengan teknologi teraktual dalam proses transisi energi berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tentu saja, Bu Puni tidak sendirian "membangun pangung-nya!" Bu Puni juga bersinergi dan berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk suami yang mendukung penuh kiprahnya dan juga IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), organisasi nirlaba yang menjadi "kawah candradimuka" untuk melatih para pegiat sosial dari project yang dikerjakan.

Inilah resep strategis Bu Puni,  bisa eksis menjadi motor penggerak transisi energi,  hingga tetap bisa nyempil dan tampil diantara dominasi kaum Adam. Ini pelajaran esensial yang semestinya kita gali lebih dalam dari suksesnya panggung aktualisasi Bu Puni, menerangi pelosok negeri dengan air.

Tentu, Bu Puni dengan segala atribut yang menempel dalam dirinya saat ini, tidak ujug-ujug atau datang dengan sendirinya, apalagi tiba-tiba! Semua pasti berproses dan itupun tidak mungkin hanya sebulan-dua bulan apalagi sehari-dua hari saja.

Terbukti! Dihimpun dari berbagai referensi, Bu Puni memang lahir dan tumbuh di lingkungan yang penuh kesahajaan, sehingga transfer ilmu pengetahuan di wilayah domestik berjalan dengan baik. Dari kecil Bu Puni sudah dididik, dilatih, ditempa dan dimotivasi oleh lingkungannya, termasuk kedua orang  tuanya, terutama ibu Gemiarsih al ummu madrasatul ula, ibu sebagai guru pertama dan utama bagi seorang anak.

Beliaulah  yang "menularkan dan mewariskan" jiwa sosial dan kepedulian pada lingkungan sekitar, hingga sampai di masa remajanyapun Bu Puni  lebih memilih banyak terlibat dalam proyek sosial pemberdayaan masyarakat desa, hingga naluri, kemampuan multitasking dan instingnya sebagai perempuan, ilmuwan, aktifis sosial, pendidik, ibu rumah tangga dan juga sebagai istri semakin terasah, jeli, kritis dan selalu komprehensif.

Kincir Air | medialampung.disway.id
Kincir Air | medialampung.disway.id

Perjalanan panjang Bu Puni, mengingatkan saya pada kesahajaan masyarakat desa di kampung halaman saya di kaki Gunung Lawu, lumbung pangannya Jawa Timur yang juga sarat kearifan lokal dalam memanfaatkan energi alamnya yang melimpah.

Sejak jaman nenek moyang dulu, masyarakat di kampung kami sudah terbiasa memanfaatkan energi dari alam yang begitu melimpah untuk membantu aktifitas sehari-hari, terutama energi gravitasi, air dan angin yang sebagian besar pemanfaatannya di kampung kami lebih dekat ke ranah domestik ibu-ibu.

Di kampung kami, air sungai dari gunung cukup deras, tapi semuanya mengalir di jalur yang lebih rendah dari permukaan tanah pekarangan, kebun-kebun maupun persawahan warga, agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, maka air  dinaikkan ke atas dengan teknologi kincir air yang digerakkan oleh kekuatan arus  sungainya sendiri.

Ilmu kincir air ini, konon sudah ada sejak jaman "mbah buyut" kami. Uniknya, untuk menentukan titik lokasi terbaik instalasi kincir air, juga ukuran penimba air dari kincirnya agar efektif, efisien dan tidak mengganggu perputaran kincirnya, ibu-ibu yang paling banyak berkepentingan dengan airlah yang menentukan.

Di dapur, dengan sedikit modifikasi yang dirancang ibu-ibu, perputaran kincir air di sungai bisa diatur untuk menggerakkan alu atau penumbuk emping melinjo, salah satu produk andalan kampung kami sebelum dijemur di terik matahari yang  ramah lingkungan dan gratis.

Selain itu, putaran kincir air juga bisa disetel untuk  memutar as  pemanggang ayam, itik, menthok, belibis, bahkan juga kambing di atas pawonan atau tungku tradisional dari tanah liat di dapur untuk meratakan kematangan.

Tidak hanya  itu, di kebun dan sawah, ibu-ibu juga biasa mengajari kami anak-anak untuk memanfaatkan putaran kincir air itu untuk mengusir burung-burung pemakan padi dan tanaman sayuran dengan membuat jaringan orang-orangan sawah yang diberi bebunyian.

Caranya mudah! Hanya perlu menghubungkan rangkaian orang-orangan sawah dengan tuas modifikasi di kincir air saat diperlukan, maka orang-orangan sawah seketika akan bergerak dan mengeluarkan bunyi berisik yang akan mengagetkan dan tentunya mengganggu burung-burung di sawah maupun di kebun.

Biasanya untuk membuat rangkaian orang-orangan sawah ini kita tidak sendirian, tapi bersama-sama dengan pemilik sawah-sawah di sebelah-sebelahnya. Ini tidak hanya mengajari kami anak-anak, pemanfaatan energi dari alam semata, tapi juga arti penting silaturahmi dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Gledekan/Becak Lawu | antaranews.com
Gledekan/Becak Lawu | antaranews.com

Ini yang unik! Untuk gravitasi, kami biasa memanfaatkan gledekan atau becak lawu, kendaraan roda 4 yang di desain mirip gocar,  tanpa mesin untuk mengangkut rumput, sayuran dan buah-buahan dari kebun  ke rumah, Kalau lagi nggak sibuk, gledekan ini juga kami pakai untuk bermain-main sama teman. Balapan!

Menularkan sekaligus mewariskan gaya hidup berkelanjutan, termasuk pemanfaatan energi alami kepada generasi berikutnya ala kampung kami, masih menjadi peran penting dan strategis ibu-ibu dalam melestarikan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

Banyak pelajaran bermanfaat dari Bu Puni dan Ibu-ibu kami di Kaki Gunung Lawu. Intinya, semua perempuan bisa mengambil peran strategis menjembatani transisi energi, sesuai dengan background dan kemampuannya masing-masing. Terpenting, segera mulai dari sekarang, mulai saja dari yang sederhana dan mulai dari kita secara konsisten.

Semoga bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun