Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari "Tangan Dingin" Bu Puni, Menerangi Pelosok Negeri dengan Air

20 Juni 2024   21:53 Diperbarui: 20 Juni 2024   22:25 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kincir Air | medialampung.disway.id

Sejak jaman nenek moyang dulu, masyarakat di kampung kami sudah terbiasa memanfaatkan energi dari alam yang begitu melimpah untuk membantu aktifitas sehari-hari, terutama energi gravitasi, air dan angin yang sebagian besar pemanfaatannya di kampung kami lebih dekat ke ranah domestik ibu-ibu.

Di kampung kami, air sungai dari gunung cukup deras, tapi semuanya mengalir di jalur yang lebih rendah dari permukaan tanah pekarangan, kebun-kebun maupun persawahan warga, agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, maka air  dinaikkan ke atas dengan teknologi kincir air yang digerakkan oleh kekuatan arus  sungainya sendiri.

Ilmu kincir air ini, konon sudah ada sejak jaman "mbah buyut" kami. Uniknya, untuk menentukan titik lokasi terbaik instalasi kincir air, juga ukuran penimba air dari kincirnya agar efektif, efisien dan tidak mengganggu perputaran kincirnya, ibu-ibu yang paling banyak berkepentingan dengan airlah yang menentukan.

Di dapur, dengan sedikit modifikasi yang dirancang ibu-ibu, perputaran kincir air di sungai bisa diatur untuk menggerakkan alu atau penumbuk emping melinjo, salah satu produk andalan kampung kami sebelum dijemur di terik matahari yang  ramah lingkungan dan gratis.

Selain itu, putaran kincir air juga bisa disetel untuk  memutar as  pemanggang ayam, itik, menthok, belibis, bahkan juga kambing di atas pawonan atau tungku tradisional dari tanah liat di dapur untuk meratakan kematangan.

Tidak hanya  itu, di kebun dan sawah, ibu-ibu juga biasa mengajari kami anak-anak untuk memanfaatkan putaran kincir air itu untuk mengusir burung-burung pemakan padi dan tanaman sayuran dengan membuat jaringan orang-orangan sawah yang diberi bebunyian.

Caranya mudah! Hanya perlu menghubungkan rangkaian orang-orangan sawah dengan tuas modifikasi di kincir air saat diperlukan, maka orang-orangan sawah seketika akan bergerak dan mengeluarkan bunyi berisik yang akan mengagetkan dan tentunya mengganggu burung-burung di sawah maupun di kebun.

Biasanya untuk membuat rangkaian orang-orangan sawah ini kita tidak sendirian, tapi bersama-sama dengan pemilik sawah-sawah di sebelah-sebelahnya. Ini tidak hanya mengajari kami anak-anak, pemanfaatan energi dari alam semata, tapi juga arti penting silaturahmi dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Gledekan/Becak Lawu | antaranews.com
Gledekan/Becak Lawu | antaranews.com

Ini yang unik! Untuk gravitasi, kami biasa memanfaatkan gledekan atau becak lawu, kendaraan roda 4 yang di desain mirip gocar,  tanpa mesin untuk mengangkut rumput, sayuran dan buah-buahan dari kebun  ke rumah, Kalau lagi nggak sibuk, gledekan ini juga kami pakai untuk bermain-main sama teman. Balapan!

Menularkan sekaligus mewariskan gaya hidup berkelanjutan, termasuk pemanfaatan energi alami kepada generasi berikutnya ala kampung kami, masih menjadi peran penting dan strategis ibu-ibu dalam melestarikan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun