Kabar gembira ini semakin menambah optimisme tren positif keterlibatan perempuan secara aktif dalam  pemberdayaan kelompok rentan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan, terkhusus dalam transisi energi terbarukan yang gencar diadvokasi banyak pihak, termasuk Oxfam.
Konfederasi internasional yang bekerja di lebih dari 90 negara ini mendukung transisi energi inklusif yang melibatkan dan memberdayakan perempuan juga kelompok rentan. Mereka memastikan suara perempuan didengar dalam pengambilan keputusan energi di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Klop dengan misi Bu Puni!
Kerennya, sebagai aktor utama perempuan dalam "lakon" transisi energi berkelanjutan, Bu Puni bukan tipikal yang hanya minta panggung atau menunggu dibuatkan panggung dulu baru beraksi, tapi justeru sebaliknya! Â Â
Bu Puni, seorang ibu, isteri, sekaligus ibu rumah tangga ini memilih mendirikan panggungnya sendiri untuk aktualisasinya menjembatani tradisi, sumber energi lokal dengan teknologi teraktual dalam proses transisi energi berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Tentu saja, Bu Puni tidak sendirian "membangun pangung-nya!" Bu Puni juga bersinergi dan berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk suami yang mendukung penuh kiprahnya dan juga IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), organisasi nirlaba yang menjadi "kawah candradimuka" untuk melatih para pegiat sosial dari project yang dikerjakan.
Inilah resep strategis Bu Puni, Â bisa eksis menjadi motor penggerak transisi energi, Â hingga tetap bisa nyempil dan tampil diantara dominasi kaum Adam. Ini pelajaran esensial yang semestinya kita gali lebih dalam dari suksesnya panggung aktualisasi Bu Puni, menerangi pelosok negeri dengan air.
Tentu, Bu Puni dengan segala atribut yang menempel dalam dirinya saat ini, tidak ujug-ujug atau datang dengan sendirinya, apalagi tiba-tiba! Semua pasti berproses dan itupun tidak mungkin hanya sebulan-dua bulan apalagi sehari-dua hari saja.
Terbukti! Dihimpun dari berbagai referensi, Bu Puni memang lahir dan tumbuh di lingkungan yang penuh kesahajaan, sehingga transfer ilmu pengetahuan di wilayah domestik berjalan dengan baik. Dari kecil Bu Puni sudah dididik, dilatih, ditempa dan dimotivasi oleh lingkungannya, termasuk kedua orang tuanya, terutama ibu Gemiarsih al ummu madrasatul ula, ibu sebagai guru pertama dan utama bagi seorang anak.
Beliaulah  yang "menularkan dan mewariskan" jiwa sosial dan kepedulian pada lingkungan sekitar, hingga sampai di masa remajanyapun Bu Puni  lebih memilih banyak terlibat dalam proyek sosial pemberdayaan masyarakat desa, hingga naluri, kemampuan multitasking dan instingnya sebagai perempuan, ilmuwan, aktifis sosial, pendidik, ibu rumah tangga dan juga sebagai istri semakin terasah, jeli, kritis dan selalu komprehensif.
Perjalanan panjang Bu Puni, mengingatkan saya pada kesahajaan masyarakat desa di kampung halaman saya di kaki Gunung Lawu, lumbung pangannya Jawa Timur yang juga sarat kearifan lokal dalam memanfaatkan energi alamnya yang melimpah.