Salah satu momentum tahunan yang paling saya tunggu sejak menikah dengan gadis Banjar adalah mudik lebaran. Kami yang diawal-awal pernikahan menetap di Sidoarjo, akhirnya memutuskan untuk menggilir secara bersalang-seling jadwal mudik tiap tahunnya.
Anehnya, saya selalu merasa lebih menikmati lebaran ketika mudik ke Banjar. Saya merasakan dunia yang berbeda. Begitu juga sebaliknya, isteri saya justeru lebih suka mudik ke kaki Gunung Lawu yang adem dan serba hijau segar view alamnya.
Tidak hanya itu, interaksi kami dengan lingkungan baru kami, masing-masing jelas menjadi semacam wahana dunia baru bagi kami.Â
Terutama jika kita bertemu dengan kendala bahasa dan makanan tradisional masing-masing  yang biasanya tiap lebaran keluar semua. Ini yang seru dan menegangkan, sekaligus menyenangkan!
Pernah waktu kita berkunjung ke tempat Acil atau Bulik alias Tantenya istri saya, saya selalu dibuat tertawa oleh pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Banjar dialek Hulu Sungai atau pahuluan yang lebih cepat dan sudah pasti, kosakatanya serasa bahasa planet bagi saya saat itu.
Nanti ujung-ujungnya kalau ditanya ngerti nggak artinya? saya pasti geleng-geleng kepala. Berikut ilustrasi pertanyaannya khas lebaran di bumi Banjar.
"Barapa ikung  anak?"Â
"Bagana dimana wahini?"
"Bagawi dimana?
"Pabila Bulik ka Jawa?"
Nah kalau ketemunya sama amang atau paman alias om-omnya isteri saya, pertanyaannya beda lagi, selalu berhubungan dengan naluri kelelakian, seperti "handakkah babini pulang?"