Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Nggak Cuma Lucu, Menyatukan Dua Budaya dalam Satu Lebaran Itu Menggemaskan!

5 April 2024   22:52 Diperbarui: 5 April 2024   23:00 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang Pasar Terapung, Isteri-isteri Tangguh dan Pekerja keras yang Ulet  khas Urang Banjar | @kaekaha

Menikah dengan beda suku semestinya menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat nusantara yang secara faktual memang dibangun dari berbagai macam suku bangsa.

Tapi sayangnya, sejauh pengalaman saya, sepertinya kesadaran seperti yang saya maksudkan di atas memang masih belum benar-benar dijiwai olah masyarakat kita.

Atau jangan-jangan, circle saya saja ya yang masih begitu ya? Mudah-mudahan sih! He...he...he....

Buktinya, ketika saya yang asli Wong Jowo  "ketahuan" menikahi gadis Banjar, asli Kalimantan Selatan, banyak sanak saudara, tetangga dan juga teman-teman saya mempertanyakan keputusan saya tersebut, apalagi mantan-mantan saya!

"Nggolek bojo kok adoh men to le le!?" Kata Simbah Kakung, bapaknya ibu saya. Sekedar informasi saja, padahal Simbah Kakung atau kakek saya ini, istri pertama beliau orang Dabo, salah satu  pulau kecil di gugusan pulau di kawasan Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Aduuuuh Mbah, adoh ...eh jauh lagi dari Banjarmasin!?

"Lhah... lha kok oleh bojo adoh men, kenal nengendi lur?" Tanya Jono, sahabatku sejak unyu-unyu yang sekarang jadi juragan bakso di kampungku, di kaki Gunung Lawu sana.

"Lha kuwi mengko budal lamaran Karo mantenan numpak montor mabur no le? Asyiiiik!" Tanya Bude saya, kakaknya ibu.

Lha yang paling serem itu ya pernyataan dan pertanyaan mantan-mantan saya, salah satunya yang paling sopan seperti "Koyok neng Jowo wis ora enek cah ayu wae!?" Serem kan? He...he...he...

Tapi ya itulah faktanya, kita memang tidak bisa memungkiri bahwa proses komunikasi antar anak bangsa di level akar rumput masih banyak terkendala oleh ruang dan waktu atau kalau dalam bahasa saya yang wong cilik begini ya terkendala biaya...he...he...he. Betul?

Beruntungnya saya, di usia muda sudah ditakdirkan Allah SWT bertemu dengan teman-teman dari 27 propinsi (jauh sebelum akhirnya di pecah jadi 33 dan sekarang jadi 38 propinsi), hingga akhirnya saya benar-benar semakin jatuh cinta dengan mereka, eh maksudnya dengan keragaman budayanya, termasuk sama gadis-gadisnya ya he...he...he...

2 Dunia dalam 1 Lebaran

Salah satu momentum tahunan yang paling saya tunggu sejak menikah dengan gadis Banjar adalah mudik lebaran. Kami yang diawal-awal pernikahan menetap di Sidoarjo, akhirnya memutuskan untuk menggilir secara bersalang-seling jadwal mudik tiap tahunnya.

Anehnya, saya selalu merasa lebih menikmati lebaran ketika mudik ke Banjar. Saya merasakan dunia yang berbeda. Begitu juga sebaliknya, isteri saya justeru lebih suka mudik ke kaki Gunung Lawu yang adem dan serba hijau segar view alamnya.

Tidak hanya itu, interaksi kami dengan lingkungan baru kami, masing-masing jelas menjadi semacam wahana dunia baru bagi kami. 

Terutama jika kita bertemu dengan kendala bahasa dan makanan tradisional masing-masing  yang biasanya tiap lebaran keluar semua. Ini yang seru dan menegangkan, sekaligus menyenangkan!

Pernah waktu kita berkunjung ke tempat Acil atau Bulik alias Tantenya istri saya, saya selalu dibuat tertawa oleh pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Banjar dialek Hulu Sungai atau pahuluan yang lebih cepat dan sudah pasti, kosakatanya serasa bahasa planet bagi saya saat itu.

Nanti ujung-ujungnya kalau ditanya ngerti nggak artinya? saya pasti geleng-geleng kepala. Berikut ilustrasi pertanyaannya khas lebaran di bumi Banjar.

"Barapa ikung  anak?" 

"Bagana dimana wahini?"

"Bagawi dimana?

"Pabila Bulik ka Jawa?"

Nah kalau ketemunya sama amang atau paman alias om-omnya isteri saya, pertanyaannya beda lagi, selalu berhubungan dengan naluri kelelakian, seperti  "handakkah babini pulang?"

Nah, diantara pertanyaan-pertanyaan khas lebaran diatas, saya paling suka kalau ditanya "barapa ikung anak?" atau punya anak berapa?

Karena pasti akan saya jawab, "ampat dan sulung samuaan!" yang artinya adalah empat dan semuanya anak sulung atau anak pertama. Tahu maksudnya? Biasanya kalau sudah sampai disitu, orang-orang yang mendengar pasti riuh dan heboh!

Punya empat anak dan sulung semua, itu artinya keempat anak itu lahir dari empat ibu berbeda dan jawaban itu sama saja dengan memberi tahu mereka kalau saya punya istri empat! Ngarep he...he...he...

Tahukan anda makna mempunyai isteri 4 dalam lingkungan budaya Urang Banjar?

Di lingkungan masyarakat Banjar dikenal tradisi humor unik terkait poligami ini, yaitu

Punya isteri satu itu baru belajar

Punya isteri dua itu wajar

Punya isteri tiga itu kurang ajar 

Dan punya isteri empat itu Urang Banjar!

Pahamkan maknanya? Artinya saya sudah menjadi bagian dari Urang Banjar...he...he...he...

Semoga Menghibur!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun