Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keliling Indonesia Bersama Pak De!

19 November 2024   13:32 Diperbarui: 19 November 2024   13:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunrise di Batas Horison Perairan Pulau Bangka-Belitung, Bersama Pak De! | @kaekaha

"Siapa yang pagi tadi sarapan nasi pecel?"

Tanya Pak De kepada kami seisi kelas yang masing-masing baru saja membuka tas, untuk mengeluarkan buku pelajaran berikut buku catatannya, ketika Pak De menanyakan sarapan kami pagi ini. Nasi Pecel!?

Sontak, lebih dari separuh kelas, termasuk saya mengangkat tangan kanan dan mengacungkan jari telunjuk masing-masing, mengaku sarapan pagi dengan nasi pecel. Menu sarapan khas kampung kami di kaki Gunung Lawu.

"Terus yang lain, sarapan apa?" Tanya Pak De lagi sambil mengarahkan pandangan ke seluruh ruang kelas.

"Kulo blendrang gori kalih ndok bebek di dadar, Pak De! Minume wedang jahe". Sugeng Riyadi, temanku yang paling gendut mengangkat tangan sambil berteriak nyaring.

"Saya sarapan nasi goreng sama telur ceplok, minumnya wedang teh, Pak De!" Kali ini Sri Rejeki, anak paling pintar di kelasku ikut menyuarakan sarapan spesialnya.

"Kalau kamu le, Rahmad!" Tanya Pak De, kepada satu-satunya teman kami sekelas yang bersama keluarganya merupakan pendatang dari Pulau Sumatera. Tepatnya Palembang, Sumatera Selatan.

“Saya makan pagi dengan lauk Pindang Ikan Patin, Pak De!” Jawabnya dengan logat bicara khasnya yang kami suka.

“Weeeh enak Kabeh sarapane! Baiklah, Sebenarnya Pak De hanya ingin menyampaikan, bahwa kalian semua sangat beruntung, setiap pagi diberi Tuhan rezeki untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah dan satu lagi, menu-menu sarapan kalian, semuanya makanan-makanan tradisional nusantara, khas Indonesia!"

"Selain enak-enak semuanya, kalian dan juga ibu yang menyiapkan sarapan di pagi hari, telah melestarikan salah satu kekayaan tradisi dan budaya kita. Kalian wajib bersyukur untuk itu semua!"

"Lha kalau Pak De sarapannya apa?" Tanyaku kepada Pak De sambil mengacungkan tangan lagi, berbarengan  dengan guru senior kesayangan kami itu membalikkan badan, sepertinya hendak menuju tempat duduknya.

"Ooooooo! Pak De tadi pagi sarapan Soto Kebo le. Oh iya, ada yang tahu atau mungkin pernah dengar sejarah uniknya Soto Kebo atau Soto Kerbau?" Tanya Pak De kepada kami.

Mendengar pertanyaan Pak De, kami hanya menggeleng-gelengkan kepala, tanda kami tidak tahu jawabannya. Jangankan menjawabnya, mendengar ada makanan Soto Kebo saja, baru hari ini dari Pak De!

"Alhamdulillah, Bu De tadi pagi dapat wewehan dari tetangga belakang rumah. Orang  asli Kudus, Jawa Tengah yang baru saja pulang kampung dan membawa oleh-oleh Soto Kebo asli dari kampung halamannya". Pak De membeberkan rahasianya bisa sarapan Soto Kebo.

Baca Juga Yuk, Cerpen "Sepeda-Sepeda Persembahan dari Langit"

Begitulah suasana hari-hari kami belajar bersama Pak De, guru paling unik, nyentrik dan "sakti mandraguna" yang pernah saya temui dan sepertinya juga teman-teman saya, anak-anak kelas 4 Sekolah Dasar Inpres di bagian Timur Laut kaki Gunung Lawu, Jawa Timur.

Suyitno, begitulah nama asli beliau yang tertulis di emblem yang menempel di semua baju yang beliau pakai untuk mengajar kami. 

Tapi uniknya, nama Suyitno yang menurut beliau diadopsi orang tua beliau dari kosakata Bahasa Sansekerta yang berarti waspada atau hati-hati itu justeru serasa asing di lingkungan sekolah kami!

Entah bagaimana awal mulanya, menurut ibu dan bapak saya yang juga murid beliau semasa sekolah di SD ini, saat itu beliau sudah dipanggil Pak De dan itu bukan murid-muridnya saja, tapi juga semua guru dan perangkat sekolah, semuanya memanggil beliau Pak De, bukan Pak Guru apalagi Pak Yitno, nama asli beliau!

Menariknya, mungkin karena tuah panggilan Pak De itu juga yang menjadikan beliau sangat dihormati di sekolah, apalagi oleh kami murid-muridnya. Beliau sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri. Inilah alasan kami menyebut beliau itu guru yang unik. Gayanya beda!

Sakti mandraguna? Ya betul! Pak De itu memang guru yang sakti mandraguna! Bagaimana tidak? Setiap jam belajar IPS bersama Pak De, putaran waktu jam pelajaran kami serasa lebih cepat, hingga waktu belajar juga menjadi jauh lebih singkat dari mata pelajaran lainnya. Aneh bukan?

Setiap bertemu Pak De, baik di dalam ruang kelas saat belajar, maupun di luar kelas dalam aktifitas apapun, selalu ada ilmu dan pengetahuan baru yang kami dapatkan, terutama tentang keindahan alam dan kekayaan serta keragaman tradisi budaya Nusantara, Indonesia kita!

Seperti pagi ini, saat istirahat pertama setelah kami habiskan jam pelajaran pertama dan kedua dengan olahraga di lapangan bola. Kami melihat Pak De sedang asyik ngobrol dengan tukang angon bebek atau penggembala itik yang sedang mengawasi ratusan bebeknya di sawah depan sekolah kami yang beberapa hari lalu, padinya baru saja dipanen.  

Pak De yang melihat kami duduk-duduk santai di bawah pohon Trembesi raksasa di samping sekolah sambil menyantap ote-ote sayur dan juga rondo royal ditemani es sinom segar yang dibuat dari daun asam muda kesukaan kami, langsung memanggil kami untuk duduk bersama beliau menyaksikan ratusan bebek yang sedang asyik mencari makan itu.

Rombongan bebek-bebek yang menurut penggembalanya datang dari kabupaten sebelah itu, kata Pak De merupakan jenis itik Alabio, itik "jagoan" asli Indonesia dari Kalimantan Selatan yang katanya sangat rajin bertelur. 

Terbukti, beberapa kali Lik Bejo, penggembala itik-itik itu meminta kami mengambil telur-telur itik yang tercecer di antara beberapa rumpun padi yang baru saja dipanen itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang terendam dalam air berlumpur dan terinjak-injak bebek di barisan belakangnya.

Tentu saja, dengan senang hati dan riang gembira kami semua langsung menyerbu sawah berlumpur di hadapan kami tanpa menunggu aba-aba lagi. 

Tapi kami tidak boleh terlalu berisik, agar tidak mengganggu itik-itik yang sedang asyik berburu cacing dan biota dalam lumpur dengan paruhnya yang disosor-sosorkan penuh semangat itu, bersaing dengan kawanan burung Kuntul yang juga mulai berdatangan. Duh serunya itu lho...

Kata Pak De, ketika kita sama-sama turun ke sawah membantu Lik Bejo mengumpulkan telur itik yang tercecer, "kita mempunyai banyak jenis itik 'jagoan' yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Ada yang jago bertelur, ada yang jago terbang, jago berlari, ada juga yang jago untuk pedaging karena badannya yang kekar".

"Selain Itik Alabio, kita juga punya Itik Metaram atau itik Turi dari Bantul Jogjakarta, Itik Tegal, Itik Mojosari dari Mojokerto, itik Bali, Itik Rambon dari Cirebon, Itik Kerinci dari Jambi, Itik Pitalah dari Tanah Datar Sumatera Barat dan lain-lainnya."

***

Baca Juga Yuk, Cerita Fabel "Ketika Maut Mengakhiri Persahabatan Albi dan Haru!"

Belajar bersama Pak De memang selalu ngangeni. Belajar sambil bermain dengan model permainan-permainan yang selalu baru, membuat kami senang dan nyaman untuk mempelajari hal-hal yang baru. Terutama tentang kekayaan alam dan budaya Nusantara, hingga setiap harinya kami serasa dibawa keliling Indonesia, sama Pak De!

Tidak hanya duduk manis untuk mendengarkan beliau berkisah saja kami juga diajak  untuk ikut terlibat langsung di setiap aktifitas yang kita lakukan dalam proses belajar.

Seperti saat kita dikenalkan beliau dengan peta Indonesia dan dunia melalui buku Atlas. Saat itulah untuk pertama kalinya kami mengenal istilah skala. 

Hingga akhirnya, saya bisa menggunakannya, untuk memindahkan gambar peta Pulau Kalimantan di atlas ke dalam kertas manila berukuran poster yang beberapa puluh kali lebih besar. Senang sekali rasanya saat itu, bisa menyelesaikan tugas dari Pak De!

Begitu juga ketika beliau memperkenalkan kami dengan beragam layang-layang nusantara. Terutama Kaghati Kolope, layang-layang tertua di dunia dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara yang menurut Pak De usianya sudah lebih dari 4000 tahun.

Tidak hanya sekedar membayangkan saja, kami dilatih langsung sama beliau membuat layang-layang tradisional yang benar-benar bisa terbang ke angkasa.

"Le, bahan membuat layangan nanggalan dan lain-lainnya sudah siap?" Tanya Pak De, kepadaku sebagai ketua kelas yang dua hari lalu memang di serahi tugas untuk mengkoordinir pengumpulan bahan untuk praktik pembuatan layang-layang nusantara.

Menurut Pak De, kita akan praktik membuat tiga jenis layang-layang tradisional raksasa nan unik khas Indonesia yaitu, Layangan Nanggalan dari Jawa Timur, Kalayangan Dandang dari Kalimantan Selatan dan Layang-layang Kuau Raja khas Riau dan dari sinilah awal mula kami menjadi terinspirasi bahkan mungkin terobsesi dengan petuah -petuah bijak Pak De.

"Layang-layang tradisional kita ini sudah cukup langka le! Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya!?"

"Jika kalian tekun dan bersungguh-sungguh untuk melestarikannya, Insha Allah, jangankan hanya keliling Indonesia, keliling duniapun layang-layang ini sanggup membawamu terbang! (BDJ191124)

Salam matan Kota Tua 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas?

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan| KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan| KOMBATAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun