Baca Juga Yuk! Laksa Banjar, "Kehangatan" Kuah Ikan Gabus Full Rempah dari Banjarmasin
Skala usaha "warung pencerekenan" sebagian besar memang tergolong pada level usaha UMKM atau skala mikro dan milik perorangan. Kalau di Surabaya dan sekitarnya mungkin orang akan menyebutnya sebagai pracangan, sedangkan kalau di kampung leluhur saya di kaki Gunung Lawu sana, mungkin identik dengan grabat atau warung grabatan.
Selayaknya level pedagang kecil dan menengah dengan modal yang relatif pas dan cenderung pas-pasan lainnya, sayangnya situasi terkini eksistensi warung pencerekenan, selayaknya peribahasa "pelanduk mati diantara dua gajah bertarung", ketika ekspansi duo raksasa jaringan minimarket nasional ternama semakin merangsek sampai ke kampung-kampung yang secara tradisional menjadi "ladangnya" warung pencerekenan.
Sedangkan warung pencerekenan yang beruntung, meskipun masih sanggup bertahan, keadaanya juga tidak lebih baik! Sebagian besar hanya sekedar bertahan hidup saja dan entah, itu sampai kapan?
Sepertinya sangat sulit bagi mereka untuk sekedar head to head, apalagi untuk lebih berkembang lagi, dibawah dominasi duo raksasa bermodal tanpa batas itu, kalau mengutip candaan Wak Asmuni, Srimulat, ini sepertinya sesuatu hil yang mustahal!Â
Celakanya, berada di dalam iklim usaha yang tidak menguntungkan itu, warung pencerekenan justeru menjadi target dan sasaran praktik rentenir berkedok koperasi yang saat ini begitu bebas beroperasi tanpa kontrol dan pengawasan dari pihak-pihak berwenang!Â
Petugas-petugas "koperasi ilegal" yang seolah-olah datang sebagai dewa penyelamat itu, datang untuk membantu permodalan warung-warung pencerekenan dengan angka-angka yang bisa disesuaikan dengan jaminan yang disepakati, tapi karena modal yang diberikan tidak gratis, dalam perjalanannya "kaki tangan" rentenir ini tidak lebih dari pembunuh berdarah dingin yang ujung-ujungnya akan menikam dari belakang.
Baca Juga Yuk! Kisah Serendipiti di Balik Kelezatan Sepiring Tahu Campur
Tidak heran jika kemudian, banyak warung pencerekenan yang sekarang terjerat utang dengan bunga tinggi pada rentenir, jangankan mau mengembangkan usaha, untuk membayar utang harian mereka ke para rentenir itu saja mereka ngos-ngosan! Akibatnya, pelan tapi pasti, situasi usaha mereka selayaknya peribahasa "hidup segan mati tak mau".