Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerita Ibu Tentang Kisah Bapak dengan Pakaian "Mahalnya"

28 Oktober 2022   22:34 Diperbarui: 28 Oktober 2022   23:04 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakaian-pakaian Mahal | @kaekaha

Keluarga besar kami, khususnya dari jalur bapak, lebih banyak tinggal di komplek-komplek perumahan pabrik gula peninggalan Belanda yang sebagian besar dibangun  pada abad ke-19 di berbagai daerah di Indonesia, terutama di seputaran kawasan ex-karesidenan Madiun, Jawa Timur yang kelak dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan.

Sudah menjadi rahasia umum, pada masa kejayaannya di era 1980-an sampai pertengahan 1990-an, ada semacam stereotip atau anggapan unik terhadap penghuni komplek yang berkembang di masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar komplek perumahan pabrik gula yang dulunya juga menjadi tempat tinggal para ekspatriat yang konon sebagian besar juga dari Belanda tersebut.

Entah bagaimana dan dari mana asal muasalnya, masyarakat memberi label penghuni komplek yang  memang hanya diperuntukkan bagi karyawan di level middle sampai top  management tersebut sebagai golongan masyarakat high class yang super tajir. 

Uniknya, sebagai salah satu penghuni "sejak dini",  saya justeru sama sekali tidak menyadari situasi ini, sampai suatu hari di usia menjelang remaja saya, ada kejadian unik sekaligus mengharukan di rumah kami yang menurut saya relevan dengan kalimat "nyelekit" Jack Ma diatas dengan realitas kehidupan kita.

Ini Kisahnya!

Pada suatu pagi menjelang lebaran di awal 90-an, Yu Sumi, rewang atau ART di rumah tiba-tiba menangis kejer. Usut punya usut, ternyata Yu Sumi menemukan jam tangan bapak terendam dalam bak cucian baju bersama beberapa pakaian lainnya. Yu  Sumi yang  merasa teledor tidak memeriksa secara teliti semua pakaian yang akan direndamnya, sangat khawatir harus mengganti jam tangan bapak  yang menurut perkiraan beliau pasti sangat mahal, mana situasinya mau lebaran pula!

Demi mendapati Yu Sumi yang nampak begitu bersedih, akhirnya ibu menjelaskan kepada Yu Sumi kalau harga jam tangan bapak tidak semahal yang Yu Sumi kira dan yang terpenting, ibu juga menyebut, Yu Sumi tidak perlu mengganti jam tangan bapak , tapi kedepannya memang wajib lebih berhati-hati  lagi ketika tengah beraktivitas.

Menurut ibu, untuk urusan "pakaian", termasuk  jam tangan dan pernak -pernik lainnya yang bersifat aksesoris, bapak mempunyai prinsip unik dan menarik yang konon, bapak adopsi dari pengalaman saat beliau menjadi "pelaut" alias awak kapal dagang yang berlayar sampai ke sejumlah pedalaman pulau kalimantan, jauh sebelum bapak memutuskan untuk mengikuti jejak kakek, berkarir di industri gula.

Karena tertarik cerita ibu tentang kisah  bapak dengan pakaian-pakaiannya tersebut, saya yang tadinya hanya penasaran dengan suara tangis Yu Sumi yang nggak biasanya, jadi ikut duduk di samping ibu yang sedang menenangkan Yu Sumi.

Masih menurut ibu, dulu saat masih muda bapak juga suka dengan barang-barang branded, baik dari hasil membeli sendiri di kota-kota pelabuhan saat kapal sandar, maupun hasil barter ataupun pemberian dari para kolega. Uniknya,  semua berubah setelah beberapa kali bapak harus mengalami kejadian unik yang kelak benar-benar merubah pola pikir beliau, terkait aksesoris yang biasa kita kenal sebagai "pakaian".

Kehidupan sebagai awak kapal dagang pada era awal 70-an yang lebih banyak berlayar ke pedalaman Pulau Kalimantan via jalur sungai, menjadikan orang-orang seperti bapak layaknya manusia kelas pekerja lainnya yang lebih sering dilihat sebagai masyarakat kelas dua atau bahkan kelas tiga baik secara ekonomi maupun sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun