Dari ribuan paribasa Banjar yang sampai sekarang masih tetap eksis menjadi referensi sekaligus media kontrol sosial bagi Urang Banjar dalam berkehidupan bersosial dan bermasyarakat sehari-hari, ada ratusan diantaranya yang telah di kodifikasi dan didokumentasikan dalam bentuk buku atau karya tulis lainnya, salah satunya adalah karya dari duo budayawan Banjar, Ahmad Makkie dan Syamsiar Seman yang berjudul "Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar" yang terbit pada tahun 2006 silam. Â
Baca Juga : Â Ritual Mudik Serasa Berpetualang di Jalur Tradisional dan Legendaris Hulu Sungai Barito
Diantara sekian banyak paribasa Banjar yang sampai sekarang masih sering terdengar dalam proses komunikasi masyarakat sehari-hari, beberapa diantaranya ternyata masih sangat relevan menjadi semacam "pemandu" bagi Urang Banjar dalam berkomunikasi atau berbicara dengan siapa saja, termasuk dalam hal memilih "menu" obrolan yang tepat, terlebih dengan orang lain di luar suku Banjar.Â
Berikut rinciannya,Â
Banganga Dahulu, Hanyar BaucapÂ
Banganga atau menganga merupakan sebuah analogi pada tindakan "diam dan mendengarkan untuk memperhatikan", jadi makna umum dari paribasa di atas adalah dengarkan atau perhatikan dulu yang dibicarakan baru bicara.Â
Paribasa ini mengingatkan kita semua perlunya kehati-hatian dalam berbicara atau lebih tepatnya perlunya menjaga kualitas omongan yang keluar dari mulut kita, mengiringi sikap dan perilaku positif kita. Sehingga dimanapun kita berada bisa selalu menyesuaikan diri dengan situasi sekitar.  Apalagi dalam paribasa Banjar, mulut adalah perlambang dari kecerdasan,Â
Situasi ini sepertinya menjawab sebuah analogi ungkapan yang menyebutkan, "Teko hanya akan mengeluarkan isinya! Jika isinya air comberan yang keluar dari mulutnya ya air comberan, begitu juga jika isinya kopi pahit, maka jika dituang ke dalam cangkir yang keluar ya kopi pahit.
Kaya Siput Dipais dan Bujur Pandiam, Sakali Baucap Pas Luput
Arti peribahasa pertama adalah bagai siput dipepes yang maknanya adalah seseorang yang memiliki sifat sangat pendiam atau sengaja tidak mau bicara. Sedangkan peribahasa kedua mempunyai arti dan makna lugas sebagai seseorang yang memang pendiam tetapi sekali bicara langsung salahÂ
Kedua paribasa diatas pada dasarnya merupakan antitesis bagi ungkapan terkenal, "diam itu emas" dan memberikan pesan bahwa, tidak selamanya orang yang diam itu pandai atau baik, semua tetap harus melihat situasi dan kondisinya. Kalau dihubungkan dengan tradisi dan karakter Urang Banjar pada umumnya, maka paribasa Banjar ini mendorong siapa saja untuk berani bicara sesuai dengan porsinya, tidak boleh kurang apalagi lebih.Â
Pandir Kaya Buak
Arti paribasa ini adalah berbicara seperti Buak! Buak adalah sebutan Urang Banjar untuk sejenis burung nocturnal atau burung yang lebih aktif di malam hari yang secara fisik tidak lebih besar dari genggaman tangan orang dewasa. Burung dengan warna dominan abu abu pada bulunya ini tidak bisa terbang tinggi dan hanya bisa berlari serta melompat rendah saja. Dinamai burung buak karena suara nyaringnya yang berbunyi buak...buak...buak.Â