Kreatifitas masyarakat yang bisa menjadikan kelengkapan ini menjadi beragam bentuk seperti beragam bentuk masjid, aneka binatang, perahu bahkan beragam alat transportasi, memunculkan ide dari pemerintah untuk diadakan perlombaan antar kampung.
Khusus untuk penerangan dari bahan bakar minyak tanah, biasanya dulu masyarakat memanfaatkan barang-barang bekas seperti botol limun, kecap, kaleng susu dan atau apa saja yang bisa dipakai untuk wadah minyak tanah. Untuk sumbunya biasa memakai kain baju bekas yang di sematkan ke tutup botol yang telah dilubangi tengahnya.Â
Seiring masuknya listrik, tradisi badadamaran kembali berevolusi. Berikutnya, kreatifitas badadamaran masyarakat banua mengarah pada bentuk yang jauh lebih estetik, yaitu membuatkan semacam lampion dari kertas warna-warni yang dilengkapi dengan pencahayaan dari lampu listrik.Â
Sayangnya, dalam proses evolusif ini ternyata nama badadamaran lambat laun justeru tergeser oleh nama baru meskipun bercitarasa lama, yaitu tanglung atau tanglong sejenis lampion yang terbuat dari kertas warna-warni dan di beri hiasan lampu yang menurut budayawan Banjar yang juga Kompasianer Zulfaisal Putera, berasal dari daratan Cina dan justeru telah masuk ke banua Banjar seiring masuknya Islam sekitar abad 16.
Baca Juga : Â "Guru dan Tuan Guru", Gelar Kehormatan untuk Alim Ulama Panutan ala Urang Banjar
Memang dalam perjalanannya, tanglong berkembang tidak hanya sekedar menjadi penerang jalanan layaknya tradisi dadamaran, tapi justeru lebih eksis di jalur etetika.Â
Tidak hanya tanglong yang digantung di beranda-beranda rumah selama ramadan saja, dalam perjalanannya tanglong juga berkembang menjadi media hiburan dan kompetisi, dengan diadakanya festival jukung tanglong dan mobil hias tanglong yang biasanya menampilkan beragam kreasi yang luar biasa indah.
Â
Sekarang, jika anda sempat baelang (berkunjung ; bhs Banjar) ke Kota 1000 Sungai atau ke kawsan banua anam, yaitu di enam kabupaten paling utara di Kalimantan Selatan, jika anda menemukan lampu hias warna-warni di sepanjang jalan atau bahkan di pusat kota, terutama setelah malam salikuran (malam dua puluh satu ramadan;bhs Banjar), itulah manifestasi badadamaran di zaman sekarang yang mungkin akan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai  tanglong atau tanglung.Â
Cahaya lampu-lampu inilah yang dulu menerangi jalan-jalan di seputar kampung sampai perkotaan, menunjukkan jalan bagi para perindu malam 1000 bulan menuju tempat-tempat turunnya malam yang paling mulia ini, hingga beberapa diantaranya Insha Allah berhasil menemukannya, bahkan diantaranya juga merasa perlu membongkar semua rahasia di balik turunnya malam lailatul qadar alias malam 1000 bulan. Penasaran?
Mengurai Rahasia Dibalik Malam 1000 Bulan
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!