Romantika Gaya Hidup "Orang Gunung"
Di kampung kelahiran saya, di kaki Gunung Lawu, sisi Jawa Timur yang selalu tampak "ijo royo-royo", hampir setiap jengkal tanahnya yang subur bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk produksi sumber pangan, melalui usaha pertanian, perkebunan dan peternakan produktif yang seluruhnya masih dikelola secara tradisional.
Alam yang asri memberi bonus udara segar dan sehat yang bisa kami rasakan sepanjang hari secara kontinyu, menjadikan masyarakat kampung kami mempunyai daya tahan tubuh yang baik, sehat fisik dan psikis. Salah satu indikatornya adalah banyaknya manula alias manusia lanjut usia di kampung kami, bahkan beberapa diantaranya berusia lebih dari 100 tahun.
Luar biasanya, meskipun telah berusia lanjut, mereka tetap segar bugar, bahkan banyak diantara mereka yang masih "terjun langsung" mengelola usaha pertaniaan, perikanan atau peternakan.
Tidak heran jika kampung kami sejak dulu bisa swasembada pangan. Hampir semua kebutuhan pangan sehari-hari bisa tercukupi dari sawah, ladang, kebun dan bahkan dari halaman kami sendiri. Dengan begitu, masyarakat juga bisa mengontrol sendiri kualitas pangan sehat yang dikonsumsi dan yang tidak kalah penting adalah gaya hidup efisien (baca ; hemat/living frugal) yang telah berurat berakar begitu kuat.
Baca Juga : Â "Berkebun di Pohon", Lifehack Menambah Pasokan Oksigen di Lahan Terbatas
Masyarakat kampung kami memang terbiasa beraktifitas secara "manual". Kemana-kemana, biasa dengan jalan kaki dan kalau jaraknya relatif agak jauh, paling benter memilih menunggangi sepeda onthel dan kalau harus mengangkut produk hasil pertanian yang banyak atau berat, kami biasa menggunakan kluthuk (gerobak yang ditarik manusia) atau cikar (gerobak yang ditarik sapi atau kerbau).
Tidak hanya itu, lestarinya alam di sekeliling kami juga memberikan "hadiah" air yang sangat melimpah, sehingga bisa kami manfaatkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari saja, tapi juga untuk berbagai usaha produktif, yaitu untuk pengairan pertanian, perikanan dan yang paling vital adalah untuk pembangkit listrik.Â
Khusus untuk energi listrik ini, masyarakat kampung kami membangunnya secara swadaya, dengan membangun PLTA mini yang memanfaatkan grafitasi dan juga tingginya debit air sungai yang membelah kampung kami, artinya listrik kami pun dibangun dengan cara yang ramah lingkungan.Â
Di rumah, dengan arsitektur khas tropis dengan pintu dan jendela yang besar-besar, memungkinkan sirkulasi udara dan cahaya di rumah sangat memadai dan seimbang atau istilah sekarang ramah lingkungan, sehingga tidak lagi memerlukan pencahayaan dari sumber listrik secara berlebihan, juga mesin pendingin ruangan atau AC, bahkan juga lemari pendingin (kulkas) yang di kemudian hari memang terbukti tidak hanya boros energi listrik saja, tapi juga "menyumbang" produksi karbon.