Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bayang-bayang "Seni Furbizia" dalam Kebangkitan Gli Azzuri di Euro 2020

7 Juni 2021   09:23 Diperbarui: 7 Juni 2021   09:41 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Headbutt Zidane ke Dada Materrazi | Bola.com 

"Seni Furbizia"

Furbizia (bukan Fubrizia) merupakan kata dalam bahasa Italia yang secara umum bisa dimaknai sebagai licik ; tipu muslihat. Dalam dunia sepakbola dan sekarang sepertinya juga mulai melebar ke beberapa cabang olahraga lainnya, dikenal juga istilah furbizia yang maknanya juga relatif sama dengan makna kata aslinya, licik ; tipu muslihat atau ada juga yang memaknai sebagai kecurangan.

Secara Khusus, furbizia dalam sepakbola adalah sebuah cara mengelabui lawan melalui pendekatan performatif, taktis dan psikologis yang tidak keluar dari peraturan pertandingan.

Entah siapa yang memulai menyematkan istilah dari bahasa Italia ini dalam dunia olahraga, khususnya sepakbola. Entah kebetulan atau memang ada hubungannya, Gli Azzuri  alias tim nasional Italia merupakan salah satu tim kesebelasan di dunia yang dikenal melegalkan praktik furbizia ini dalam pertandingan resminya.

Baca Juga :  Nutmeg, "Si-Buah Pala" Lambang Pertaruhan Harga Diri Pemain Bola di Lapangan Hijau

Bahkan konon, rangkaian keberhasilan Gli Azzuri merebut mahkota Piala Dunia 2006 di Jerman, setelah mengalahkan Prancis secara dramatis melalui adu pinalti, juga tidak terlepas dari peran "furbizia", beragam bentuk kecurangan dalam bersepakbola yang di negeri asalnya, Italia tidak hanya dilegalkan, tapi juga dianggap sebagai seni, bahkan dianggap sebagai bentuk kecerdasan yang membutuhkan keahlian khusus untuk menjalankannya. 

Headbutt Zidane ke Dada Materrazi | Bola.com 
Headbutt Zidane ke Dada Materrazi | Bola.com 

"Drama" Furbizia Italia

Masih ingat dengan drama headbutt alias tandukan Zinedine Zidane ke dada Marco Materrazi, di laga grand final yang berlangsung di Stadion Olimpiade Berlin, Jerman, yang berujung kartu merah untuk sang legenda Perancis tersebut? 

Bentuk provokasi verbal Marco Materrazi kepada Zidane yang konon menjadi pemicu drama yang terjadi di masa perpanjangan waktu, itulah salah satu bentuk praktik furbizia  yang akhirnya berhasil mengganggu konsentrasi sekalgus menjatuhkan mental para pemain Prancis, hingga gagal meraih juara yang ada di depan mata.

Baca Juga :  Baca Juga :  Sepak Bola dan Kisah-kisah Dramatisnya yang Akan Terus Hadir dan Menghibur!

Menurut Andrea Tallarita, kolumnis football Italiano, praktik Furbizia di lapangan bisa bermacam-macam jenisnya, bisa diving, tactical fouls, melakukan tendangan bebas ketika kiper lawan belum siap, mengulur-ulur waktu, memprovokasi (baik fisik maupun verbal), dan hal-hal lain yang memungkinkan bisa menyerang psikologis pemain lawan.

Tidak hanya di partai puncak saja, Italia melakukan praktik furbizia. Pada babak 16 besar atau perdelapan final, praktik furbizia malah menjadi kunci  kemenangan kontroversial Italia 1-0 atas Australia.   

Australia yang sejak menit 50 unggul jumlah pemain, karena Marco Materrazi mendapatkan kartu kuning kedua, tetap tidak bisa menembus kokohnya pertahanan Italia dan akhirnya harus benar-benar gigit jari, setelah pada masa perpanjangan waktu di babak ke-2 hanya tinggal menunggu beberapa detik untuk mendapatkan peluang melalui perpanjangan waktu dan atau kemungkinan tos-tosan alias adu pinalti, drama akhirnya terjadi.

Lucas Neil yang Kebingungan Melihat Reaksi Fabio Groso | footbal-tribe.com
Lucas Neil yang Kebingungan Melihat Reaksi Fabio Groso | footbal-tribe.com

Diving Fabio Groso pada detik-detik akhir permainan berbuah pinalti untuk Italia dan "Sang Pangeran Roma", Fransesco Totti yang mengeksekusi tendangan 12 pas tersebut pada menit 90+5, akhirnya mencatatkan namanya di papan skor setelah berhasil menjebol gawang Australia yang di kawal oleh Mark Schwarzer, penjaga gawang kontestan Liga Primer Inggris, Middlesbrough.

Tentu saja, kemenangan Italia dengan cara yang dianggap tidak fair ini mendapatkan cibiran dari banyak pihak dan sepertinya juga tidak akan pernah dilupakan oleh squad asuhan Guss Hiddink yang saat itu juga bisa dibilang sebagai masa emasnya the socceroos. Kecuali duo bek, Michael Beauchamp (Central Coast Mariners) dan Mark Milligan (FC Sydney) yang bermain di liga domestik Australia, semua materi the socceroos bertebaran di pentas liga sepakbola Eropa.

Baca Juga :  Bacary Sagna dan "Kisah Perjodohannya" yang Membuat Iri Jutaan Pria di Dunia

Tapi sekali lagi, inilah sepakbola! Selain dramanya memang akan terus hadir seiring laga yang bergulir, sepak bola juga hanya memerlukan menang dan kalah dan saat itu Italia-lah pemenangnya. Titik!

Uniknya, pasca pertandingan yang menentukan langkah Italia tersebut, dengan jujur Fabio Groso akhirnya melakukan "pengakuan dosa" juga.  "Pertandingan ini sangat berat. Tapi kami perlu melangkah ke babak berikutnya. Bek lawan melakukan sebuah sliding tackle dan hanya sedikit mengenai kakiku. Aku perlu melakukannya. Bagiku itu penalti walaupun sebenarnya tidak."

Tapi Fabio Groso tidak sendirian menjadi "ahli" dari seni furbizia, khususnya untuk spesialisasi diving, karena dari catatan media, banyak sekali punggawa Gli Azzuri yang permah terlibat paraktik furbizia ini, sebut saja Filippo Inzaghi, Alberto Gilardino, dan Francesco Totti dan lain-lainnya.

Kalau sudah begini, terserah anda memaknainya, apakan diving ala Fabio Grosso dan praktik furbizia lainnya memang sebuah seni yang justeru memerlukan skill khusus untuk mempraktikannya di lapangan atau memang bentuk kecurangan yang sejatinya juga memerlukan keahlian khusus untuk melakukannya, agar tidak terlihat wasit!?  Ha...ha...ha...jadi bingung ya!?

Timnas Italia di Euro 2020 | TWITTER.com/@azzurri/Kompas.com
Timnas Italia di Euro 2020 | TWITTER.com/@azzurri/Kompas.com

Italia dan Furbizia

Stereotipe sepakbola negatif memang terlanjur melekat pada sepakbola Italia, baik sisi taktical maupun non taktical-nya.  Bahkan untuk gelaran Euro 2008, ESPN membuat feature iklan tentang Gli Azzuri sebagai bagian dari promosi Piala Eropa 2008, uniknya dalam iklan promosi itu, ada narasi "menyentil" tentang Italia yang gemar melakukan provokasi. Nah loooooo!

Prinsip "Unik" dari budaya sepakbola ala Italia ini, sepertinya sangat bertalian dengan istilah italian job yang menurut Gianluca Vialli, mantan penyerang tengah timnas Italia yang pernah bermain di Sampdoria, Juventus dan terkahir pensiun di Chelsea saat merangkap menjadi pelatih dadakan,  dalam buku karangannya, The Italian Job. 

Menurut Vialli, bagi pesepakbola Italia, sepakbola adalah sebuah pekerjaan, bukan sebuah permainan.

Kalau kita berkaca pada fakta dunia sepakbola profesional saat ini, yang semuanya serba komersil, sepakbola yang telah dikemas menjadi bagian dari sebuah industri hiburan dengan perputaran uang yang sangat luar biasa besarnya, tentu sebuah keniscayaan menjadikan sepakbola sebagai lahan mengais rejeki alias pekerjaan, apalagi bagi para pemain-pemain profesional!

Tapi sebenarnya, akar masalahnya tidak hanya berhenti pada prinsip para pesepakbola Italia yang menganggap sepakbola sebagai pekerjaan, tapi juga kesalahan kolektif budaya bola mereka yang terlanjur memahami furbizia sebagai sebuah seni. 

Karena itulah, sepakbola Italia pada beberapa dekade silam cenderung bermain pragmatis. Lebih berorientasi pada hasil akhir layaknya sepakbola tradisional. Walaupun faktanya, sepakbola memang hanya membutuhkan siapa menang dan siapa kalah.

Baca Juga :  Mengenal Deportivo Palestino, "Timnas Palestina Ke-2" dari Chili, Amerika Latin

Mereka lebih suka memperkuat lini pertahanan dan "hanya" akan mengancam musuh melalui skema serangan balik semata yang kelak lebih dikenal sebagai catenaccio filosofi sepakbola tradisional khas Italia yang ternyata bukan asli dari Italia sendiri, tapi versi baru dari verrou, filosofi sepakbola yang pernah dipopulerkan oleh  Karl Rappan, pelatih Swiss era tahun 1930-an.

Tidak heran, jika di era keemasan Italia di Piala Dunia 2002 dan 2006, pemain-pemain bintangnya tidak hanya didominasi oleh pemain yang berposisi di lini depan saja, tapi juga lini paling belakang, sebut saja nama-nama kiper legendaris mereka seperti Gianluigi Buffon, Christian Abbiati, Francesco Toldo dan tentunya bek-bek tangguh mereka seperti Paolo Maldini, Fabio Cannavaro, dan Alessandro Nesta.

Akankah Gli Azzuri di bawah asuhan Roberto Mancini yang bertabur rekor gemilang, meskipun tanpa "bintang" yang bersinar terang dalam squad-nya bisa memanfaatkan momentum untuk lepas dari bayang-bayang furbizia, sekaligus bangkit dan merengkuh gelar di Eeuro 2020!?  

Tunggu kabarnya hanya di sini, ya!

 

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Selamat Idul Fitri 1442H | @kaekaha
Selamat Idul Fitri 1442H | @kaekaha

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun