Stereotipe sepakbola negatif memang terlanjur melekat pada sepakbola Italia, baik sisi taktical maupun non taktical-nya.  Bahkan untuk gelaran Euro 2008, ESPN membuat feature iklan tentang Gli Azzuri sebagai bagian dari promosi Piala Eropa 2008, uniknya dalam iklan promosi itu, ada narasi "menyentil" tentang Italia yang gemar melakukan provokasi. Nah loooooo!
Prinsip "Unik" dari budaya sepakbola ala Italia ini, sepertinya sangat bertalian dengan istilah italian job yang menurut Gianluca Vialli, mantan penyerang tengah timnas Italia yang pernah bermain di Sampdoria, Juventus dan terkahir pensiun di Chelsea saat merangkap menjadi pelatih dadakan,  dalam buku karangannya, The Italian Job.Â
Menurut Vialli, bagi pesepakbola Italia, sepakbola adalah sebuah pekerjaan, bukan sebuah permainan.
Kalau kita berkaca pada fakta dunia sepakbola profesional saat ini, yang semuanya serba komersil, sepakbola yang telah dikemas menjadi bagian dari sebuah industri hiburan dengan perputaran uang yang sangat luar biasa besarnya, tentu sebuah keniscayaan menjadikan sepakbola sebagai lahan mengais rejeki alias pekerjaan, apalagi bagi para pemain-pemain profesional!
Tapi sebenarnya, akar masalahnya tidak hanya berhenti pada prinsip para pesepakbola Italia yang menganggap sepakbola sebagai pekerjaan, tapi juga kesalahan kolektif budaya bola mereka yang terlanjur memahami furbizia sebagai sebuah seni.Â
Karena itulah, sepakbola Italia pada beberapa dekade silam cenderung bermain pragmatis. Lebih berorientasi pada hasil akhir layaknya sepakbola tradisional. Walaupun faktanya, sepakbola memang hanya membutuhkan siapa menang dan siapa kalah.
Baca Juga : Â Mengenal Deportivo Palestino, "Timnas Palestina Ke-2" dari Chili, Amerika Latin
Mereka lebih suka memperkuat lini pertahanan dan "hanya" akan mengancam musuh melalui skema serangan balik semata yang kelak lebih dikenal sebagai catenaccio filosofi sepakbola tradisional khas Italia yang ternyata bukan asli dari Italia sendiri, tapi versi baru dari verrou, filosofi sepakbola yang pernah dipopulerkan oleh  Karl Rappan, pelatih Swiss era tahun 1930-an.
Tidak heran, jika di era keemasan Italia di Piala Dunia 2002 dan 2006, pemain-pemain bintangnya tidak hanya didominasi oleh pemain yang berposisi di lini depan saja, tapi juga lini paling belakang, sebut saja nama-nama kiper legendaris mereka seperti Gianluigi Buffon, Christian Abbiati, Francesco Toldo dan tentunya bek-bek tangguh mereka seperti Paolo Maldini, Fabio Cannavaro, dan Alessandro Nesta.
Akankah Gli Azzuri di bawah asuhan Roberto Mancini yang bertabur rekor gemilang, meskipun tanpa "bintang" yang bersinar terang dalam squad-nya bisa memanfaatkan momentum untuk lepas dari bayang-bayang furbizia, sekaligus bangkit dan merengkuh gelar di Eeuro 2020!? Â
Tunggu kabarnya hanya di sini, ya!
Â