Jika seorang operator mesin produksi, maka dalam form harus ada tanda tangan atasannya secara bertingkat mulai dari level foreman (kepala shift) yang sebelumnya harus ada ijin dari karu (kepala regu unit kerja) yang ditandai dengan adanya paraf karu di kolom foreman, setelah itu tanda tangan supervisor departemen, tanda tangan manager bagian produksi dan terakhir baru personalia.
Proses legalisasi perijinan secara bertingkat diatas, juga berfungsi sebagai screening sekaligus fungsi kontrol internal departemen dan bagian tempat si tenaga kerja beraktifitas. Karu, Foreman, Supervisor dan Manager bagian merupakan PIC atau penanggung jawab di unit kerja departemen dan bagian masing-masing. Merekalah yang paling tahu situasi dan kondisi departemen dan bagiannya, termasuk target produksi dan ketersediaan SDM untuk memenuhi target tersebut.
Jika Karu, Foreman, Supervisor, sampai Manager bagian "mau" bertanda tangan pada form ijin tidak masuk kerja, artinya mereka telah mempertimbangkan track record si tenaga kerja, terkhusus untuk kinerja dan "catatan kuantitas tidak masuk kerja-nya", plus memastikan ketidakhadiran-nya di hari H tidak akan mengganggu aktifitas produksi di unit kerja departemen-bagiannya masing-masing.
Lantas dimana peran personalia sebagai team support? Normatifnya, jika semua PIC dari unit kerja di departemen sampai bagian semuanya sudah ACC atau sudah menyetujui, secara teknis tidak ada alasan bagi personalia yang posisi legalnya paling akhir alias paling tinggi dalam kasus ini, untuk "mempermasalahkan" ijin tidak masuk dari si tenaga kerja.Â
Hanya saja, yang terjadi di lapangan memang tidak sesederhana itu. Personalia yang menyimpan datail data karyawan, termasuk riwayat ijin si tenaga kerja, riwayat kesehatan, riwayat cuti, bahkan riwayat surat peringatan dan sebagianya, harus benar-benar meneliti secara normatif pengajuan ijin dari si tenaga kerja, mulai dari alasan ijin/cuti, durasi, akurasi data sisa cuti (saat itu data masih tersimpan dalam file manual dan tersimpan dalam ordner), termasuk konfirmasi kepada manager bagian terkait ketersediaan SDM di hari H si tenaga kerja tidak masuk kerja.
Saya masih ingat, pernah ada kisah unik terkait "percobaan" ijin "aspal", ijinnya asli dan legal tapi alasannya palsu. Sebut saja namanya Eko, karena baru saja melewati masa kerja 1 tahun yang sekaligus sebagai tanda telah mendapatkan "jatah cuti tahunan plus cuti nikah" si-Eko mencoba mengajukan cuti tahunan dengan alasan "kakeknya meninggal dunia". Karena kakek bukan termasuk keluarga inti dari tenaga kerja, maka si-Eko tidak berhak mendapatkan jatah cuti khusus, tapi tetap bisa mengajukan cuti tahunan.Â
Baca juga : Â "Nyopet" Dompetnya Pak Menteri
Sayangnya lagi, setelah "ngobrol" dengan personalia, akhirnya terbongkar kalau kedua kakeknya memang meninggal, tapi sudah 2 dan 4 tahun yang lalu, artinya si-Eka bohong dan akhirnya mengakui, hanya ingin merasakan bagaimanan rasanya cuti alias tidak kerja secara legal ketika teman-temannya yang lain tengah bekerja. Hadeeeeh Eko, eko! Akhirnya, tidak hanya ijin cutinya dibatalkan personalia, tapi juga mendapatkan teguran pertama dari personalia.
Ijin Karena Sakit
Khusus untuk ijin karena sakit dan jenis cuti yang bersifat darurat/mendadak, seperti cuti haid, cuti khusus karena keluarga inti (orang tua/mertua, suami/isteri, anak/menantu) dan atau keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, prosesnya jelas berbeda dengan jenis ijin tidak masuk kerja sebelumnya.Â
Khusus untuk sakit dan cuti haid, wajib ada indikasi awal, yaitu rasa sakit, karena itu seharusnya ada pemeriksaan dari tim medis perusahaan. Tapi atas pertimbangan kemanusiaan, klausul pemeriksaan tim medis dari perusahaan ini akhirnya di perusahaan tempat saya kerja dulu dibatalkan alias tidak diberlakukan.Â
Baca Juga : Â Sepak Bola dan Kisah-kisah Dramatisnya yang Akan Terus Hadir dan Menghibur!