Borobudur Pusat Musik Dunia
Artefaktual relief Candi Borobudur yang didirikan sejak abad ke-7 pada masa pemerintahan Mataram Kuno yang saat itu di bawah kekuasaan Wangsa Syailendra, memvisualkan lebih dari 40 macam instrumen alat musik di dunia dari 4 (empat) kategori alat musik berbeda, yaitu kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul) dan membranofon (membran) yang sampai sekarang masih banyak dimainkan di lebih 40 negara, termasuk di 34 propinsi Indonesia.
Sebur saja, Ranat Ek (Thailand), Balafon (Gabon), Marimba (Congo/Tanzania), Garantung (Indonesia), Mridagam (India), Ghatam (India), Udu (Nigeria), Bo (China), Bhusya (Nepal), Darbuka (Egypt), Tifa (Indonesia), Small Djembe (Mali/West Africa), Traditional Drum (Srilanka), Muzavu (Tamil), African Drums, Tabla (India), Kendang (Indonesia), Conga (Latin America), Pipa (China), Setar (Iran), Oud (Saudi Arabia), Biwa (Japan), Lute (English), Ud (Turkey).
Selanjutnya ada Bowed String (Italia), Dombra (Kazakhstan), Saung Gauk (Myanmar), Ngobi (Algeria), Sakota Yazh (Tamil), Kora (Gambia), Ekidongo (Uganda), Harp, Zeze/Lunzenze (Kenya), One String Zither (Peru), Kse Diev (Cambodia), Kwere (Tanzania), Sheng (China), Saenghwang (Korea), Keledik/Kedire (Indonesia), Sape' (Indonesia), Shio (Japan), Traditional Flute (Europe), Bansuri (India), Medieval Flute (Germany), Daegum (Korea), dan Suling atau seruling (Indonesia).
Secara de facto, ini jelas menunjukkan peran sentral Borobodur sejak 13 abad yang lalu sebagai salah satu pusat budaya dunia, khususnya seni musik, apalagi sejauh ini belum ditemukan situs-situs lain di dunia yang se-era dengan Borobudur, menampilkan relief alat musik sebanyak Candi Borobudur.
Mengacu pada temuan penting berupa relief alat musik dari berbagai belahan dunia tersebut, sepertinya bukan isapan jempol semata jika situs konstruksi mandala raksasa, Candi Borobudur tersebut sejak 13 abad silam telah didedikasikan sebagai pusat atau induk dari ensiklopedi musik dunia alias Borobudur pusat musik dunia.
Sound of Borobudur Movement
Dokumentasi temuan spektakuler relief alat musik di Candi Borobudur yang sejatinya sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda tersebut, ternyata memicu tantangan kreatif untuk "membunyikan borobudur" atau kalau diinggriskan kira-kira menjadi sound of Borobudur.
Dimotori tiga musisi senior yang juga sekaligus pengampu utama dari gerakan sound of Borobudur, bersama beberapa elemen masyarakat lainnya mereka berusaha "memantik" kembali rasa bangga bangsa Indonesia terhadap kekayaan budaya leluhur, sekaligus sebagai media untuk menemukan formulasi terbaik pembedayakan semua potensi yang ada agar bisa memberi manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat, khususnya warga di sekitar candi Borobudur.
Berawal dari gelaran Borobudur Cultural Feast 2016 yang di dalamnya juga terjadi proses diskusi antar elemen seni danjuga senimannya, akhirnya lahir gagasan untuk menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur dalam wujud fisik serta membunyikannya kembali.
Ditahap awal, ditandai dengan lahirnya 3 instrumen musik dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151 yang kelak salah satunya dikenal sebagai alat musik tradisioal masyarakat Dayak di Kalimantan yang dikenal sebagai sape' atau sampeq.
Luar biasanya, ketiga alat musik tersebut berhasil dimainkan secara sempurna untuk mengiringi 3 komposisi sekeligus oleh beberapa musisi dalam launching-nya pada pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016, di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur.
Baca Juga : Mengenal Alat Musik Dayak Sape' dan Keledi, Instrumen "Sound of Borobudur" dari Kalimantan
Keberhasilan mewujudtampakkan sekaligus membunyimusikalkan 3 instrumen musik dawai dari relief Karmawibhangga, layaknya candu bagi para penggiat sound of Borobudur untuk terus mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang tepahat di relief-relief Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha di candi Borobudur.
Salah satu temuan sekaligus rumusan penting dalam eksplorasi berikutnya adalah fakta temuan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik berikut sebarannya di seluruh dunia seperti tersebut diatas dalam 200 relief yang terdapat di 40 panel candi dan juga keberhasilan rekonstruksi terhadap 18 instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen berbahan gerabah, dan satu instrumen idiophone dari besi.
Setelahnya, secara berturut-turut Sound of Borobudur tampil dalam beberapa even, seperti Explore Borobudur (Januari, 2017), Borobudur International Festival 2017 (Juli,2017), Festival Pamalayu di Dharmasraya, Sumatera Barat (2020) dan yang paling anyar sekaligus menjadikan sound of Borobudur menjadi perbincangan di seluruh penjuru nusantara adalah penampilannya secara live dalam Seminar dan Lokakarya secara daring “Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia”, tanggal 7-9 April 2021 yang lalu yang menampilkan tiga komposisi, “Jataka” (cipt. Dewa Budjana), “Lan e Tuyang” (lagu Dayak Kenyah) dan “lndonesia Pusaka” (ciptaan Ismail Marzuki),
Sebagai wujud keseriusan, agar gerakan Sound of Borobudur mempunyai sistematika manajemen yang lebih efektif, efisien, dan terukur, maka Sound of Borobudur dikelola badan pengelola berbentuk yayasan dengan nama Padma Sada Svargantara.
Menggagas Pentas "Campursari Kolosal"
Masyarakat nusantara tentu sudah sangat familiar dengan jenis musik campursari, jenis musik yang kelak juga melambungkan nama Didi Kempot, The Godfather of Broken Heart!
Musik campursari yang bila diinggriskan kurang lebih berarti crossover, merupakan perkawinan antara ensemble gamelan Jawa dengan instrumen musik standart band dari negeri barat yang pertama kali diramu sekaligus dipopulerkan oleh seniman musik tradisional Jawa, Manthous pada medio 90-an.
Meskipun dalam perjalanan dan perkembangannya, campursari juga tidak lepas dari pro dan kontra, diakui atau tidak, secara faktual kelahiran genre musik campursari terbukti telah berhasil merevitalisasi kembali eksistensi musik tradisional Jawa. Mungkin salah satu bukti sahih-nya adalah fenomena lagu-lagu Didi Kempot yang digandrungi oleh masyarakat nusantara, bukan hanya orang Jawa dan juga bukan orang-orang tua berusia lanjut!
Berangkat dari fakta filosofi musik campursari yang lahir begitu eksotis dari rahim yang memadupadankan dua kutub jenis musik berbeda yang sekilas bahkan tampak sangat berseberangan, sepertinya bukan hal yang mustahil jika ke depannya Sound of Borobudur dengan spirit yang kurang lebih sama, layaknya unity in diversity bisa menampilkan "Mega Campursari Kolosal" yang memadupadankan semua alat musik yang ada di muka bumi (tradisional dan modern), dengan prioritas awal membunyimusikalkan semua alat musik yang ada di dalam relief Candi Borobudur. Pasti keren!
Kalau sudah begitu, mata dunia pasti akan tertuju ke Indonesia dan tentunya ke Borobudur pusat musik dunia, perpustakaan musik raksasa, pusat atau induk dari ensiklopedi musik dunia.
Kalau hajatan Mega Campursari Kolosal benar-benar bisa terwujud menjadi agenda festival musik tradisional dunia yang sepertinya akan menjadi yang pertama dan sekaligus yang terbesar di dunia yang diselenggarakan secara reguler, terlebih jika dilangsungkan di seputaran Borobudur, pasti akan mendatangkan beragam dampak positif yang signifikan bagi tumbuh kembangnya industri kreatif, pariwisata, seni dan budaya sekaligus sebagai multipyer effect bagi pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor lainnya. Selaras dengn tujuan dari gagasan dibentuknya gerakan Sound of Borobudur. It's a wonderfull indonesia!
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sugai, Banjarmasin nan Bungas!
,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H