Nusantara Rindu Ramadan
Bulan Ramadan di manapun tempatnya, selama masih berada di kolong langit milik Allah SWT ini, pasti selalu menghadirkan beragam kerinduan pada siapapun yang pernah bersentuhan dengannya.Â
Di nusantara, dimana Islam bisa tumbuh, menjadi begitu indah dan memesona di beragam ekosistem adat dan budaya yang berbeda, kehadiran Ramadan juga menjadi biang kerinduan yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dikupas dan dikemas.
Baca Juga : Â Kisah Orang-orang Rawa Menyeimbangkan Hidup dan Kehidupan di Bulan Ramadan
Pesona warna-warni syiar Ramadan memang layaknya kerlap-kerlip permata yang begitu menggoda di hamparan pasir budaya dan tradisi yang sangat luas bernama Indonesia!
Tradisi Sahur nusantara
Salah satu bagian dari tradisi Ramadan yang menjadi "spot kerinduan terkuat" masyarakat di nusantara adalah beragam tradisi masyarakat yang dilakukan di seputar aktivitas makan sahur.Â
Berbicara tradisi makan sahur, bagi masyarakat muslim, khusunya masyarakat Banjar pada umumnya, sejatinya tidak sekedar membicarakan aktivitas makan sahur-nya semata, tapi beragam aspek yang menyertainya.Â
Baca Juga : Â Syahdunya Lantunan Tarhim Syaikh Mahmoud Al-Hussary Memang Ngangeni
Biasanya "tradisi makan sahur" sudah dimulai dari aktifitas bangun tengah malam, afdalnya di sepertiga malam terakhir atau sekitar mulai jam 3-an untuk melakukan ibadah shalat malam yang dijanjikan Allah SWT dengan pahala yang luar biasa besarnya. selanjutnya mempersiapkan makan sahur sekaligus menikmatinya bersma keluarga yang konon juga membutuhkan seni tersendiri untuk bisa menikmatinya secara maksimal. Setelah itu, baru dilanjut dengan melaksanakan ibadah shalat subuh berjamaah di masjid atau mushalla terdekat.
Khusus diantara kumandang azan pertama dan azan subuh, biasanya masjid-masjid akan mengumandangkan shalawat tarhim yang ummnya memperdengarkan rekaman suara Syaikh Mahmoud Al-Hussary. Karena biasa dijadikan sebagai penanda waktu Imsya, maka banyak masyarakat nusantara yang menyebut salah satu "ciri akustik Islam di Indonesia" paling memorable ini sebagai Azan Imsyak.
Baca Juga : Â Mereka yang Pantang Berpangku Tangan
Siklus "tradisi makan sahur"ini biasanya diakhiri dengan aktifitas shalat Subuh berjamaah di masjid atau mushalla atau juga langgar yang biasanya dituntaskan dengan kaliah subuh sambil menunggu waktu Syuruq, sebagai tanda dimulainya waktu untuk Shalat Isyraq yang pahalanya juga sangat besar.
Tradisi Bagarakan Sahur Â
Kalau kita perhatikan, dari rangkaian siklus "tradisi makan sahur" ini ada satu titik krusial yang tidak boleh lewat dan terlewatkan, yaitu aktifitas bangun tengah malam.
Sayangnya, tidak semua orang bisa, apalagi terbiasa untuk bangun tengah malam, dengan berbagai alasan dan sebab. Berangkat dari titik inilah, setiap bulan Ramadan di lingkungan masyarakat Banjar akan muncul rasa kebersamaan selayaknya budaya-budaya egalitarian masayarakat nusantara lainnya yang dalam konteks ini diwujudkan dengan mengadakan aktivitas tradisi yang telah berlaku sejak lama, bagarakan sahur.
Baca Juga : Â Shalat di Masjid Kayu Tertua di Kota Banjarmasin Ini Bikin Adem Lahir-Batin!
Bagarakan sahur merupakan aktifitas layaknya patrol atau sejenisnya untuk membangunkan masyarakat dalam range atau lingkup wilayah tertentu dengan cara membunyikan beragam instrumen dengan nada-nada melodik . Sehingga semua masyarakat muslim semuanya bisa melaksanakan tradisi makan sahur.
Memang, di zaman serba digital seperti sekarang, relatif banyak perangkat yang bisa dimanfaatkan sebagai alarm bangun tengah malam! Tapi faktanya, masih ada saja yang nggak bangun! Karena itulah, sepertinya bagarakan sahur tetap diperlukan, tidak hanya untuk membangunkan warga semata, tapi juga untuk mengobati kerinduan pada suasana khas tradisi Ramadan.
Uniknya, dilingkungan masyarakat Banjar kekinian, khususnya anak-anak muda pembaharunya ada semacam sesanti atau motto komunal yang berbunyi "tidak ingin masuk surga sendirian"  yang menjadikan aktifitas bagarakan sahur ini bukan sekedar hura-hura yang bikin heboh dan akhirnya justeru berakhir mengganggu masyarakat, seperti yang dikeluhkan sebagian mayarakat di media akhir-akhir ini.
Baca Juga : Â Meluruskan Kekeliruan Massal "Umat Muslim"
Mereka, benar-benar berusaha untuk proporsianal dan profesional dengan misinya membangunkan masyarakat agar bisa melaksanakan rangkaian tradisi makan sahur, sehingga selain bermanfaat juga berpahala. Sehingga harapan dan doanya seluruh warga bisa beribadah semua dan Insha Allah bisa masuk surga bersama-sama.
Memang, tidak ada gading yang tak retak! Tidak semua niat baik akan diterima dengan baik juga, bisa jadi juga tidak semua niat baik bisa dijalankan secara istiqomah dengan baik pula.Â
Karenanya, tidak heran jika kemudian, tetap ada saja perselisihan di masyarakat (meskipun kebanyakan hanya dipendam saja) terkait adanya bagarakan sahur, terutama dengan aktifitas bagarakan sahur liar yang biasanya tidak ada koordinator, penanggung jawab, dan juga pembinanya. Ini yang biasanya membuat masalah
Baca Juga : Â Kisah Al-Ushairim Meraih Surga Tanpa Beribadah Sekalipun
Demi terpeliharanya kebersamaan di masyarakat dan juga lestarinya tradisi banua di masa yang akan datang, ada baiknya semua pihak berkepentingan duduk bersama membahas bagarakan sahur secara egaliter agar keberadaanya tetap menjadi bagian tradisi ramadan khas banua yang ramah sosial dan tepatguna.
Semoga bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI