Mungkin dia membandingkannya dengan "budaya nama" ala nusantara dan sebagian besar dunia yang secara umum memang sekaligus menjadi "tanda jenis kelamin", misal nama Bagus, Michael, Budi, Henry, Joko, Thomas, Joni, Robert, Dadang dll secara umum pemiliknya pasti laki-laki, begitu juga nama Siti, Ayu, Dewi, Cintya, Desi, Arum dll yang umumnya memang milik perempuan.Â
Uniknya, ketika saya mencoba mencari referensi di internet, ternyata nama orang Korea secara umum memang tidak seperti nama orang Indonesia dan dunia pada umumnya yang relatif bisa dibedakan jenis kelaminnya dari membaca namanya saja, bahasan lengkap bisa dibaca disini. Sejak itulah saya mulai mencari tahu berbagai hal terkait drakor, terutama kajian tematik sosial budayanya, baik yang ada didalam tema drakor-nya maupun dampaknya di seputarnya. Â
Sensasi Nonton Drakor
Secara pribadi, menurut subyektif saya sensasi nonton drakor sebenarnya tidak ada bedanya dengan nonton sinematografi atau apapun namanya dari belahan dunia manapun, termasuk yang lebih dulu populer di Indonesia, seperti telenovela dari Amerika Latin atau program televisi sejenis dari India, timur tengah, Jepang, China dan lain-lainnya.Â
Jika mengatakan para pemainnya cantik-cantik, memang iya! Cantik-cantik! Tapi pemain drama telenovela juga cantik, begitu juga drama-drama dari India, Jepang, China atau Indonesia sendiri. Semuanya cantik-cantik dengan kekhasan sesuai ras-nya masing-masing, begitu juga dengan setting lokasinya yang ikut menjadi viral sebagai destinasi wisata.Â
Perbedaanya, menurut saya pada momentumnya dan juga pada proses propagandanya.  Orang Korea cekatan dalam hal mrespon pasar, itu kunci! Hebatnya lagi, drakor sampai ke Indonesia dan belahan dunia lain bukan sekedar dijual oleh agensi program televisi semata, layaknya program acara drama-drama sejenis di masa lalu, tapi memang ada keterlibatan serius dari pemerintahannya yang sengaja ingin menjadikan industri hiburan sebagai jalan pembuka untuk mengeruk pundi-pundi devisa.Â
Buktinya, berdirinya pusat-pusat kebudayaan Korea (Korean Culture Center) di 35 negara, termasuk di Indonesia yang hadir mulai tahun 2011.Â
Karena pemerintah Korea menyadari, kalau mereka all out mendukung "Ekspor budaya" yang dikemas dalam bentuk hiburan ala korea ini dengan pendanaan, teknologi dan juga diplomasi, yellow effect-nya bisa meluas kemana-mana dan itu terbukti! Â
Akhirnya bukan industri hiburan drakor-nya saja yang merajai pasar dunia sekaligus menghasilkan devisa yang tidak sedikit, tapi juga industri musik, pariwisata dan banyak lagi yang lainnya! Harusnya kita bisa lebih dari itu!
Drakor Kesukaan
Kalaupun tetap ditanya drakor kesukaan, tidak hanya drakor! Selain kajian tematik sosial budaya dari tontonan yang saya nikmati, untuk urusan nonton, saya paling suka nonton film dengan genre action, komedi, petualangan serta sejarah dan paling tidak bisa nonton film bergenre horor. Sereeeeeeem!